Minggu, 20 Maret 2011

Sang Guru

Takkan kubiarkan citra ini jatuh ke tangan orang lain, lebih-lebih kepada orang yang tidak tepat. Setidaknya demikian aku berjanji kepada diriku sendiri. Apa yang telah kurintis dan kuperjuangkan selama ini, tak rela rasanya kalau harus ternista oleh pertanyaan-pertanyaan nakal dan prasangka jahat dari kaum liberal. Mereka yang boleh mempersoalkan apa saja dalam kemerdekaan berpikir dan berwacananya.
Tidak, ini tidak boleh terjadi. Kami bukan tenaga kerja yang mengandalkan tenaga yang sesekali mengobral harga diri. Kami sedang memperjuangkan harkat dan martabat bangsa ini menuju kejayaan abadi, meski untuk itu kami sering lupa mengurus diri, lupa anak istri, demi menjaga profesi.
Berbagai isu mendera kami, tenggelam dalam kenikmatan tunjangan profesi, kurang menjaga kualitas dan profesionalitas, pandai menyiasati kebijakan demi tambahan uang makan. Tentu tidak demikian kawan. Ingat, golongan kami adalah sebagian kecil komunitas yang jauh dari kata gemerlap, sungkan bersentuhan dengan kemewahan, lebih rajin berkaca diri karena setiap langkah kami selalu dicermati.
Tak pernah tersirat dalam benak kami bersikap iri dan dengki, tak akan terbersit dalam hati kami memiliki sesuatu yang bukan jatah kami. Nafas kami adalah “Nrima Ing Pandum, Rame Ing Gawe”, tugas kami berat dan kami tetap bekerja penuh semangat.
Tak banyak yang kami butuhkan Tuan, hanya rasa mengerti dan sedikit dihargai. Tidak banyak Tuan, karena kami memang mengabaikan gengsi dan lebih utamakan nurani. Apa yang Tuan sangkakan kepada kami perlu Tuan teliti kembali. Adakah dusta dalam pengabdian kami, Tuan tentukan cela dalam tabiat kami, dan terang jelaskan kekurangan kami. Tentu kami akan terima dengan rendah hati, karena demikianlah kami diajari oleh para pendahulu kami. Amalkan ilmu padi yang semakin runduk ketika berisi.
Kami diharuskan menghafalkan kamus tebal berisi berjuta kata ikhlas, bersahaja, sederhana, bijaksana, sabar, tabah, pemaaf, asah-asih-asuh, dan taberi, gemi, nastiti, ngati-ati. Diharamkan bagi kaum kami bersikap ceroboh, gegabah, kasar, jahat, iri, dengki, srei dan sebangsanya.
Apa sebenarnya yang Bapak kehendaki dari kami. Tanda jasa yang tidak pernah Bapak beri? Bahkan beban kami ditambah dalam Kongres PGRI “Pencetak Insan Cendikia”. Kami tidak ingkar Bapak, namun hendaklah tugas mulia ini tidak terkotori oleh berbagai provokasi. Pantaskah jika kami diteriaki pencuri, ditangkap oleh polisi? Tidak perlukah klarifikasi, mediasi, syukur advokasi. Kami juga manusia Bapak, yang tak lepas dari salah dan alpa diri. Sudahkah kami diberi hati?

Tidak ada komentar: