Sabtu, 18 Juni 2011

Komitmen: Bangunan Kokoh yang Mudah Roboh oleh: Bambang DS

Dalam mimpiku aku melihat Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) sedang bercengkerama di Padhepokan Klampis Ireng. Sebagaimana hari-hari biasa, mereka berdiskusi tentang berbagai persoalan dalam kehidupan. Kearifan Romo Semar dalam berpikir dan berwacana memang sudah diakui dunia. Kecerdasan Si Sulung Gareng tidak ada yang meragukannya. Keberanian Si Nengah Petruk dalam beragumentasi selalu membuat lawan bicaranya harus berpikir dua kali. Demikian pun ketepatan antisipasi dan prediksi Si Bungsu Bagong yang hampir tidak pernah meleset. Keluarga ini terlihat demikian unik, meski tidak sempurna dari fisik, pemikiran mereka selalu memberikan manfaat bagi sesama. Bahkan banyak yang mengatakan mereka manusia setengah dewa.

Singkat cerita, demikian diskusi mereka dalam mimpi saya itu.

Semar : Duh, anak-anakku semua. Jangan kalian pada berlena-lena. Ingat kiamat sudah dekat, apa kalian yakin bisa selamat?

Gareng : Romo ini nglindur atau apa? Meski kiamat sudah dekat, emang kita bisa apa? Yang bisa lakukan ya hanya berserah diri pada Allah Yang Maha Kuasa, lain tidak! Benar nggak Truk?

Petruk : Benar Kang, aku setuju itu. Tugas kita sebagai manusia adalah berbuat baik bagi sesama, jauhkan diri dari perbuatan tercela, dan selalu laku ibadah kepada Gusti Allah. Lha kamu gimana Gong?

Bagong : Siiiip. Aku mathuk Truk, eh … Older Brother, maksudku … Mas Petruk Kanthong Bolong. Membuat orang lain senang itu juga bagus lho. Dunia ini akan kelihatan makin muda saja. Jangan kaya Romo itu, yang dipikir kiamaaaaat, terus. Kita kan masih muda Bro, harus banyak berkarya, hehehehe …!

Semar : Tobiiiiiil-tobil, anak kadal! Pada dengarkan ya, anak-anakku kabeh, sekarang ini orang-orang sudah pada kehilangan komitmen dalam bekerja. Seni mulai terpinggirkan. Mekanisasi sumber daya manusia sudah menjadi pemandangan lumrah dalam dunia usaha dan industri. Efisiensi dan efektifitas kerja selalu menjadi alasan klasik mereka. Produktifitas dan aset usaha mulai terancam keselamatannya karena tenaga kerja tidak dipadatkan jadwal dan jam kerjanya, kata mereka. Akhirnya tenaga kerja diperlakukan seperti mesin dan robot.
Individualisme dan persaingan kerja yang tidak sehat menjadi budaya di kalangan para pekerja. Selain pertimbangan kejar tayang dan kejar setoran, mereka dihantui oleh evaluasi kinerja dan target usaha yang telah dipatok oleh atasan secara sepihak. Saling sikut, saling jegal, tebar intrik dan fitnah telah dianggap langkah sah dalam rangka mempertahankan posisi dan upaya agar tetap survive di belantara pertempuran dengan rekan sejawat. Kalian sadar tidak?

Gareng : Wei, … lha dalah. Romo duka tenan iki. Nggih Romo kami para putra tansah sendika ngestokaken dhawuh. Tapi Mo, apa pemikiran itu tidak hanya sepihak saja! Kita sebagai manusia kan mesti menyeimbangkan antara logika dan rasa. Otak kiri dan otak kanan, antara karya keilmuan dan seni! Piye Truk?

Petruk : Absolutly correct! Aku setuju banget Bro! Hidup ini harus diwarnai dengan berbagai aksi, ada karya IPTEK, karya satra, karya kriya, seni, olahraga, beladiri, pokoknya ngabehi deh!
Ingat sense of humanity (rasa kemanusiaan) sebagaimana diamanatkan dalam dasar Negara kita saat ini sudah menjadi tipis. Komunikasi antarteman mejadi kering dan bahkan dianggap sebagai kegiatan buang-buang waktu percuma. Sebaliknya, mereka selalu berkutat dalam tugas dan pekerjaan dengan waktu-waktu lembur merka. Dan itu dianggap sebagai prestasi tinggi dan loyalitas penuh terhadap profesi. Kegiatan saling kunjung, saling mengabarkan berita keluarga, bersenda gurau sebagai bukti keakraban, tidak lagi mewarnai hari-hari di tempat kerja. Bahkan dianggap aneh dan naïf jika ada orang yang memiliki kepedulian lebih terhadap teman yang perlu mendapatkan support. Ya, keakraban dan rasa saling peduli dalam berbagai ruang kehidupan sudah menjadi barang langka. Ganti ngomong Gong!

Bagong : Oke, Beb. Maksudku, Den Mas Petruk. Sebagai anak muda penuh harapan di masa depan, aku memang harus selalu optimis. Sikap malas dan suka berpangku tangan, “itu bukan aku banget gitu lhoh”! Sementara ini social interest (kepedulian sosial) kian menjadi tumpul bahkan mati. Bagaimana tidak? Untuk kalangan terdekat saja, mereka sudah tidak punya sense, respon, dan kepedulian, apalagi dengan yang jauh. Ketika saudara kita terkena musibah, jujur saja apa yang telah kita perbuat? Biasanya hanya bisa mengungkapkan keprihatinan saja, masih lumayan daripada berkomentar minor yang menyakitkan, dan lebih parah lagi jika mereka hanya menyalahkan pihak lain secara membabi buta tanpa melibatkan diri sedikit pun. Apaan tuh!

Semar : Bojleeeeng-bojleng, anak celeng. Tholeee-thole, kowe kabeh wis padha pintar berdebat rupanya. Apa kalian pernah ikut lomba, dan langsung menjadi juara? Begini lho, keinginan untuk mendapatkan segala sesuatu dengan mudah, sudah menjadi impian setiap individu manusia saat ini. Ikut berbagai proses pencarian bakat, kuis berhadiah jutaan bahkan milyaran rupiah banyak digandrungi saudara-saudara kita, termasuk menjadi terkenal dalam sekejap mata dengan mengandalkan lucky blow (keberuntungan) telah meracuni benak sebagian kerabat tercinta kita.
Masih bisa kita maklumi ketika mereka menggapai dengan berbagai perjuangan hingga berdarah-darah, seperti kata orang. Kenyataan tidak demikian, karena mereka mengharapkan segala sesuatunya datang dengan mudah seperti sebuah mimpi. Belum lagi mereka yang menghalalkan segala cara, melanggar norma bahkan menistakan derajat manusia. Na’udzu billaahi min dzaalik!

Gareng : Astaghfirullaahal ‘adhiim, nyebut Mo, nyebuuuut! Jangan emosional dan meledak-ledak gitu to. Ingat Mo, darah tinggi lho Mo! Kami juga menyadari Mo, sikap manja tanpa nilai-nilai perjuangan dan usaha adalah penyakit yang secara perlahan-lahan menggerogoti kehidupan manusia. Penggunaan berbagai peralatan kemudahan seperti remote control, mesin hitung (kalkulator), pendingin ruang, robot pintar pelayan majikan, semua akan membuat kita malas bergerak. Makanan cepat saji menjadikan mereka bisa dengan mudah, murah, dan cepat, mendapatkan sesuatu. Ini menyebabkan kebodohan terpola karena mereka kehidupan mereka semakin jauh dari kata kreatif. Segala sesuatu sudah tersedia di hadapannya. Mereka menjadi lemah karena tidak pernah melihat tantangan dan kesulitan dalam mengerjakan sesuatu. Maaf lho Mo, tidak bermaksud menggurui!

Petruk : Kang Gareng benar Mo, realita itu memang kita lihat setiap hari. Tetangga-tetangga kita itu sudah hampir tidak pernah pegang sapu kayak kita, nggak pernah kena sabun cuci. Nggak pernah bikin tepas dari anyaman bambu, seperti kita dulu waktu kepanasan! Masyarakat kita ini Mo, saat ini mulai skeptis melihat perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Semua perubahan dianggap menambah beban masalah. Perubahan lingkungan alam sedikit saja mereka anggap sebagai mala petaka, keadaan cuaca yang mengalami perubahan secara ekstrem dirasa sebagai kiamat, dan kerusakan ekosistem yang mereka buat justru mereka pandang sebagai kesalahan orang lain tanpa mereka sadari bahwa mereka jugalah penyebabnya.
Pada sisi lain, daya juang, daya gempur, dan daya-daya yang lain menjadi lemah. Dulu orang berbicara tentang “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”. Kini slogan itu mulai dianggap aneh oleh generasi kita. Siapa yang mau sakit? “Enggak lah yao”, demikian kata mereka. Kemudian mereka katakan “bersakit-sakit dahulu, mati kemudian”. “Iyak iyalah”, itu kata mereka, Mo! Ini benar-benar nggak bisa dibiarkan, Mo. Semua bisa melemahkan maksud dari slogan yang sudah menjadi penyemangat kita itu. “Lebih baik mandi keringat dalam latihan daripada mandi darah dalam pertempuran”, itu kan baik, Mo! Piye Gong? Aku benar-benar mumet Gong!

Bagong : Kalo mumet yang ngombe jamu to Bro! Hari gini harus rajin minum jamu agar joss, dan bisa makaryo dengan baik. Tidak ogah-ogahan kayak Pak Ogah dan glowah-glaweh kaya Om Ableh. Itu lho, yang bisanya hanya nggambleh saja! Gini Kang, sebagai pribadi yang unggul kita memang harus memperhaikan pencitraan diri, sebagaimana pepatah Jawa mengatakan “Ajining diri gumantung ana lathi, ajining raga saka busana”, yang berarti bahwa harga diri atau derajat seseorang itu sangat ditentukan oleh kata-katanya dan bagaimana dia berpakaian/ berpenampilan yang tepat sesuai situasi dan kondisi di sekitarnya. Kalo upacara di lapangan itu tepatnya bagaimana uniform mereka, yen wisudan lan pahargyan iku trep lan patute piye? Lak iya to?

Semar : Biyuuuuuuuuung-biyung. Tuluuuuuuuung-tulung. Lha kok malah dadi kaya ngene, iki lire dha kepriye! Anak-anakku kabeh cah bagus kekudangane Romo. Ayo padha gumregut nyambut gawe, mumpung isih esuk, aja padha nglaras mat-matan, mung udat-udut, dha elinga iki jamane wis wiwit ruwet. Para pejabat sering berwasiat bahwa untuk mencapai sebuah kesuksesan, seorang pribadi unggul harus berpikir cerdas, brilian, dan terhindar dari pikiran kotor. Setiap permasalahan yang menerpa diri kita hendaknya bisa kita atasi dengan otak yang jernih dan kreatif. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, bagi orang-orang yang mau berpikir kritis dan bertindak secara sungguh-sungguh. Kesuksesan kita tidak tergantung pada isi benak kita semata, melainkan dari kecepatan gerak tangan dan kelincahan kaki kita. Singkat kata, tidak akan datang kesuksesan kepada kita hanya dengan memikirkannya. Semuanya harus diraih dengan sebuah perjuangan.

Gareng : Benar Mo, kami semua sadar itu. Kami, anak-anak Romo berjanji untuk tidak mengulangi kasalahan kami. Semoga Allah SWT meridhloi janji kami. Apa pun yang kita kerjakan memang harus selangkah lebih maju dan kita harus mulai bergerak saat yang lain masih terlena. Kata mendahului langkah (mencuri start) pada kondisi tertentu memang diperlukan, sebab sikap saling menunggu akan mengurangi efisiensi kerja. Berpikir jauh ke depan menggambarkan kemampuan yang lebih, sekaligus memberikan tantangan kepada kita untuk merencanakan sesuatu tidak hanya untuk kepentingan sesaat, bagi diri sendiri dan golongan saja. Lebih dari itu kita harus berpikir secara komprehensif untuk kepentingan generasi mendatang. Cocok ra, Truk?

Petruk : Good, good, good. Kita memang harus mau mendengarkan orang lain, banyaknya orang memberikan masukan menandakan mereka peduli terhadap kita. Semakin bervariasi masukan kepada kita, semakin banyak peluang bagi kita untuk memilih yang paling tepat dengan cara menimbang dan mengukur untuk mengambil keputusan paling jitu. Dari banyaknya masukan pemikiran itu pula kita menyadari bahwa kita memiliki banyak kekurangan dan tidak perlu malu mengakuinya. Mereka yang mau melakukan introspeksi diri justru akan semakin maju dan berkembang hidupnya karena dia akan selalu melakukan perbaikan dan peningkatan. Banyak orang menganggap pikirannya paling jitu. Justru pada saat itulah dia melakukan kekeliruan terbesar, karena tidak ada yang terbaik di antara kita. Yang ada, kebaikan itu akan saling melengkapi satu dengan yang lain.

Thueng, thueng, thueng, bel berbunyi tiga kali. Saya terbangun dari mimpi di siang bolong hari ini. Segera ke kamar kecil, cuci muka dan kembali bekerja, menjalani tugas negara seperti hari-hari biasa. Membangun kembali komitmen yang hampir roboh. Semoga.

Tidak ada komentar: