( Sebuah Telaah Teoritis)
A. Pendahuluan
Mempelajari linguistik perlu diawali dengan sebuah pertanyaan pembuka ”Apakah linguistik itu?”. Linguistik adalah ’ilmu tentang bahasa’. Dalam kajian linguistik, bahasa dipelajari sebagai ilmu (sebagaimana matematika, fisika, geografi, sejarah, dan lain-lain), bukan sebagai alat komunikasi.
Jelas sekali bahwa bahasa menjadi kajian utama linguistik, yang selanjutnya digunakan sebagai ilmu dasar dalam mempelajari ilmu-ilmu lain seperti kesusasteraan, filologi, pengajaran bahasa, penerjemahan, dan sebagainya karena dengan mengkaji linguistik orang akan lebih mudah memahami liku-liku bahasa yang merupakan materi pokok dalam ilmu-ilmu itu. (Kushartanti, dkk. 2005 : 7-8).
Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, linguistik juga mengalami perkembangan pesat. Perkembangan tersebut pada satu sisi membuat seseorang terpukau, dan pada sisi lain justru menjadi bingung, karena harus dapat dipastikan langkah mempelajari linguistik itu akan dimulai dari mana.
Agar pembaca mendapatkan kemudahan dalam mempelajari linguistik, perlu ditentukan langkah-langkah sebagai urutan yang harus diikuti, antara lain memastikan letak keilmiahan linguistik, tahap-tahap dalam penelitian linguistik, metode dan pendekatan dalam linguistik, serta manfaat dalam linguistik.
B. Permasalahan
Permasalahan apa yang perlu dikemukakan dalam linguistik? Sebagaimana ilmu-ilmu lain, linguistik secara ilmiah diharuskan memiliki syarat-syarat tertentu antara lain syarat keeksplisitan, syarat kesistematisan, dan syarat keobjektifan. Sudahkah hal tersebut terpenuhi?
Makalah ini selanjutnya akan menguraikan secara ringkas tentang pemenuhan persyaratan tersebut pada kajian awal (sebagai hakikat) dan selanjutnya mengkaji sebuah cara kerja ilmiah yakni (cara kerja linguistik sinkronis).
C. Tujuan
Tujuan mempelajari linguistik dapat dibedakan menjadi dua bagian utama yaitu teoretis dan praktis. Secara teoretis ketika seseorang mempelajari linguistik, maka dia akan memperdalam ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bahasa. Orang yang akan memperdalam kesusasteraan harus memaklumi sifat-sifat bahasa, kemampuannya, dan batas-batas kemampuannya karena kesusasteraan tidak mungkin ada bila tidak ada bahasa. Orang yang akan mempelajari filologi pun perlu mendalami safat-safat bahasa karena tujuan akhir filologi ialah memahami kebudayaan suatu bangsa, dan hal itu tidak akan tercapai apabila peneliti tidak memahami teks-teks tertulis. (Kushartanti, dkk., 2005 : 13)
Secara teoretis semua kalangan akan mendapatkan manfaat dari mempelajari linguistik. Mahasiswa akan lebih mendalam ilmu yang diperolehnya dengan mempelajari linguistik, karena kajian linguistik jauh lebih dalam dari tujuan pengajaran bahasa. Para guru pun akan mendapatkan rumusan tentang norma-norma dalam mengajar secara lebih baik dan mendalam, karena tinjauan lingusitik bersifat deskriptif, sedangkan tinjauan pengajaran bahasa bersifat normatif.
Terjadinya berbagai pertikaian antarsuku, dan bahkan antarbangsa lebih banyak disebabkan oleh permasalahan pemahaman bahasa. Hal ini menandakan bahwa kajian linguistik lebih mendalam dari kajian bahasa, karena orang-orang yang mendalami ilmu politik atau sosiologi akan lebih mudah memahami dan menyelesaikan pertikaian tersebut bila mereka juga memahami fakta-fakta linguistik. Pada konteks ini tampak tujuan mempelajari linguistik secara praktis, atau untuk tujuan praktis.
D. Pembahasan
Sebelum sampai pada pembahasan tentang cara kerja linguistik sinkronis, perlu lebih dahulu dibahas tentang hakikat linguistik sebagai kajian ilmiah. Sebagaimana telah diuraikan di atas syarat ilmiah linguistik adalah keeksplisitan, yakni menyatakan secara jelas kriteria yang mendasari penelitian dan menyusun peristilahan secara jelas dan konsisten. Sebagai contoh tentang kalimat yang harus ditentukan unsur-unsur pendukungnya, sehingga orang menjadi jelas tentang kalimat itu.
Syarat kesistematisan dipenuhi dengan menentukan kerangka deskriptif yang dipakai untuk menyesuaikan pandangan tentang data yang dilihat dan dicari. Kerangka deskriptif ini semula tidak lengkap dan akan menjadi sempurna setelah dilakukan pengujian terhadap hipotesis, perkiraan dan pandangan tentang bahasa.
Sedangkan keobjektifan dipenuhi dengan penyelidikan terhadap data dengan eksperimen yang terkontrol. Istilah objektif sendiri memiliki makna:
1. sikap terbuka dalam analisis,
2. sikap kritis dengan ’mencurigai’ setiap hipotesis sampai dapat dibuktikan secara memadai,
3. berhati-hati terhadap dugaan yang tidak berdasar, dan
4. berusaha sejauh mungkin memakai prosedur standar yang telah ditentukan. (Kushartanti, dkk., 2005 : 9)
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa linguistik sebagai sebuah ilmu telah memenuhi persyaratan ilmiah. Dan memungkinkan untuk dianalisis dengan cara-cara kerja ilmiah seperti cara kerja sinkronis, maupun cara kerja diakronis.
Pembahasan tentang cara kerja linguistik sinkronis hingga sejauh ini belum menemukan rumusan-rumusan ilustratif berupa contoh-contoh konkret, melainkan baru sebatas penjelasan-penjelasan definitif tentang sinkronis, langue, parole, signifiant, dan signifie. Beberapa kutipan berikut kiranya dapat memperjelas maksud tersebut.
Linguistik sinkronis (dari Yunani syn ’dengan’, ’bersama’ dan kronos ’waktu’) berlainan bidangnya dengan linguistik diakronis. Dalam linguistik sinkronis setiap bahasa dianalisa tanpa memperhatikan perkembangan yang terjadi pada masa lampau, misalnya bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, masing-masing dapat dianalisa tanpa memperhatikan perkembangan dari bahasa Melayu klasik atau bahasa Anglo-Saxon. Yang tampak dalam analisa sinkronis ialah apa yang lazim disebut ’struktur’ atau ’sistematik’, misalnya hubungan antara imbuhan dan dasar, hubungan antarbunyi, hubungan antarbagian kalimat, dan seterusnya.(Verhaar, 1984 : 7).
Dalam bukunya Cours de linguistique generale , de Saussure menganjurkan suatu studi bahasa yang tidak hanya meneliti hal-hal yang historis (diakronik, istilahnya), tetapi juga struktur bahasa tertentu tanpa memperhatikan segi diakroniknya – penelitian baru itu dinamainya ’sinkronik’. Secara ’sinkronik’ umpamanya kita dapat bertanya bagaimana sekarang ini hubungan antara awalan ber- dan men- tanpa mempedulikan tentang awalan yang dulu (dalam Melayu kuno) pernah menjadi sumber dari kedua awalan tersebut, yaitu awalan mar-. Demikian pula, untuk bahasa Inggris bila diteliti secara sinkronik, tidak perlu dihiraukan tiadanya akhiran untuk ajektiva, meskipun ada banyak akhiran yang demikian dalam bahasa Inggris kuno, sebelum tahun 1000 Masehi. (Alip, 2004 : 15).
Sebagai Bapak Linguistik Modern, Ferdinand de Saussure menggambarkan bahwa cara kerja linguistik diakronis mempelajari bahasa dengan melihat hubungan antara masa satu ke masa berikutnya, sedangkan sinkronis lebih menekankan pada fonem, morfem, dan lain-lain pada sebuah bahasa, sebagaimana penjelasannya, One of the points that Saussure stressed was the fact that we need to make a distinction between studying language from a diachronic point of view and from synchronic point of view. Up untill the time of Saussure, linguistics had basically involved the diachronic study of languages, which meant that scholars were only interested in describing (and explaining) relationships between various aspects of languages over periods of time. Linguistics was, until then, a purely historical field of study. Languages at a particular point in time were viewed not so much as systems within themselves, but as ‘products of history’. (Crowley, 1987: 11).
Penjelasan lain mengatakan, sistem kategori makna akan ditransmisikan masyarakat pada generasi selanjutnya, dengan demikian terus eksis sebagai satu kesatuan yang saling bergantung. Satu generasi mengubah petanda, yang lain harus mengubah petandanya pula. Seperti yang dikemukakan Saussure, penghapusan kata ’craindre’ dari bahasa Perancis, akan disusul kata-kata lain yang batasnya berdekatan. Kata ’avoir peur’ misalnya, akan berubah untuk mengisi kekosongan ruang kata tadi. ”Bahasa adalah suatu sistem yang keseluruhan bagiannya dapat dan harus dilihat sebagai sebuah solidaritas sinkronik”.
Seseorang akan mampu menafsirkan makna kata per kata, jika ia berhasil mengerti maksud dari ’solidaritas sinkronik’. (Harland, 2006 : 22).
Sinkronis hanya mengenal satu perspektif, yaitu perspektif penutur, dan seluruh metodenya adalah mengumpulkan kesaksian mereka; untuk mengetahui sejauh mana suatu hal merupakan suatu kenyataan cukuplah dicari sejauh mana kenyataan tersebut hadir dalam alam sadar subjek. Selain itu studi sinkronis tidak mengambil objeknya semua yang bersifat simultan, tetapi mengambil fakta-fakta yang berhubungan dengan setiap langue, dan apabila diperlukan, pemisahan dilakukan sampai ke dialek dan dialek bawahan. (Saussure, 1988 : 175 – 176).
Tentang langue dan parole, Saussure menjelaskan, langue adalah ‘keseluruhan sistem tanda (signe) yang merupakan produk dan konvensi masyarakat dan berfungsi sebagai alat komunikasi antara para anggotanya; sifatnya abstrak, sedangkan parole adalah ’pemakaian langue oleh tiap-tiap anggota masyarakat bahasa; sifatnya konkret karena parole tidak lain merupakan realitas fisis yang berbeda dari satu orang ke orang lain.
Signifiant adalah citra bunyi yang timbul dalam pikiran kita, sedangkan signifie pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita.(Saussure dalam Kushartanti, 2005 : 201).
E. Simpulan
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa:
Linguistik adalah ilmu yang mengkaji bahasa sebagai bahasa, bukan sebagai alat komunikasi.
Linguistik mempunyai dua manfaat yakni teoretis dan praktis. Secara teoretis, linguistik menjadi kajian yang lebih mendalam tentang bahasa dan alat memahamkan kajian lain yang terkait dengan bahasa seperti kesusasteraan, filologi, dan pengajaran bahasa.
Secara praktis, linguistik berfungsi sebagai alat untuk mempermudah pemahaman politik, sosiolingistik, serta menyelesaikan pertikaian antarbangsa karena faktor permasalahan kebahasaan.
Cara kerja linguistik sinkronis adalah mempelajari bahasa dari bahasa dan penanda-penanda bahasa itu sendiri, tanpa memperhatikan perkembangan bahasa dari tinjauan kesejarahan.
Belum banyak ditemukan ilustrasi konkret tentang cara kerja linguistik sinkronis dalam berbagai kajian, meskipun dalam pembahasan bahasa sebagai ilmu hal tersebut sudah cukup banyak dijelaskan.
Daftar Pustaka
Alip, B. Fr.2004. Asas-asas Linguistik Umum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Crowley, Terry.1987. An Introduction to Historical Linguistics, Suva Fiji: University of the South Pacific.
de Saussure, Ferdinand. 1988. Pengantar Linguistik Umum, Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Harland, Richard.2006. Superstrukturalisme, pengantar Komprehensif kepada Semiotika, Strukturalisme, dan Postrukturalisme, Yogyakarta: Jalasutra.
Kushartanti, dkk.2005. Pesona Bahasa, Langkah Awal Memamahi Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Verhaar, JMW.1984. Pengantar Linguistik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar