Selasa, 18 Mei 2010

NASIONALISME DALAM BERBAHASA,

BAMBANG DWI SASONGKO
Mahasiswa Pascasarjana Program Pengkajian Bahasa
Universitas Muhammadiyah Surakarta

A. Pendahuluan
Perubahan cukup mendasar pada kebudayaan dunia berpengaruh secara nyata terhadap perubahan kebudayaan bangsa Indonesia, termasuk perubahan bahasanya. Bahasa Indonesia dalam perubahannya menerima berbagai anasir kosakata asing, terutama dari negara maju. Dengan demikian bahasa Indonesia menjadi semakin mantap dan lebih berterima bagi masyarakat dunia secara global.
Perubahan yang sejalan dengan itu dan tidak kalah pentingnya dalam mempercepat perubahan bahasa Indonesia adalah perkembangan dalam teknologi transportasi dan komunikasi. Pada transportasi udara (khususnya), terjadi peningkatan bentuk layanan yang menyebabkan arus perpindahan penduduk demikian cepat (misal: haji, TKI, kunjungan wisata, dan lain-lain). Hal ini tidak bisa lepas dari perubahan bahasa. Sedangkan perkembangan komunikasi ditandai dengan perubahan pola komunikasi pada masyarakat dari langsung menjadi tidak langsung. Selanjutnya dari komunikasi dengan kabel menjadi nirkabel.
Ketika teknologi komunikasi sudah sampai pada jalur tanpa batas, seolah-olah tidak ada lagi hambatan untuk bermasyarakat secara global. Beratus dan bahkan beribu kosakata baru muncul dengan sangat cepat, seiring dengan perkembangan alat komunikasi itu sendiri. Masyarakat dituntut untuk mengikuti perkembangan ini, dan mereka secara tertatih-tatih harus berjalan mengikuti perkembangan kosakata yang kadang-kadang tidak lagi bertaat-asas pada kaidah (lihat SMS, Iklan, bahasa tutur di media televisi, wacana tertulis di internet, dan lain-lain).

B. Permasalahan
Berkaitan dengan nasionalisme dalam berbahasa yang menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia, dalam makalah ini dirumuskan 6 (enam) permasalahan.
1. Apakah Bahasa Indonesia kurang terbuka dan responsif terhadap masuknya istilah dan kata asing, baik dengan cara mencari padanan maupun dengan penerjemahan fonologisnya?
2. Bagaimana mengembangkan dan lebih menyebarkan prosedur penyerapan kata-kata asing termasuk cara penerjemahan fonologisnya?
3. Perlukah dilakukan kodifikasi istilah tidak hanya pada laras “tinggi”, tetapi juga pada laras “rendah” untuk keperluan pendidikan pada tingkat praktik dan awam?
4. Diperlukan penelitian tentang penguasaan yang secara tidak sadar atas kaidah-kaidah dasar tata bahasa Indonesia pada penutur bahasa Indonesia sesuai dengan tingkat pendidikan, kelas sosial, dan usia, dan hasilnya diterapkan untuk keperluan pendidikan formal dan nonformal.
5. Diperlukan kesadaran masyarakat penutur bahasa Indonesia akan kaidah-kaidah tata bahasa yang tidak boleh dilanggar.
6. Diperlukan penggalakan tulisan dalam bahasa Indonesia di berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga terbentuk wacana bahasa Indonesia di bidang-bidang itu.

C. Tujuan
Melalui tulisan singkat ini penulis mempunyai beberapa tujuan yang bermaksud menjawab dan memnyelesaikan permalahan pada bagian terdahulu.
1. Mengupayakan agar Bahasa Indonesia lebih terbuka dan responsif terhadap masuknya istilah dan kata asing, baik dengan cara mencari padanan maupun dengan penerjemahan fonologisnya.
2. Mengembangkan dan lebih menyebarkan prosedur penyerapan kata-kata asing termasuk cara penerjemahan fonologisnya.
3. Menginformasikan tentang pentingnya kodifikasi istilah tidak hanya pada laras “tinggi”, tetapi juga pada laras “rendah” untuk keperluan pendidikan pada tingkat praktik dan awam.
4. Mendorong pembaca untuk meneliti penguasaan yang secara tidak sadar atas kaidah-kaidah dasar tata bahasa Indonesia pada penutur bahasa Indonesia sesuai dengan tingkat pendidikan, kelas sosial, dan usia, dan hasilnya diterapkan untuk keperluan pendidikan formal dan nonformal.
5. Menyadarkan masyarakat penutur bahasa Indonesia akan kaidah-kaidah tata bahasa yang tidak boleh dilanggar.
6. Menggalakkan tulisan dalam bahasa Indonesia di berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga terbentuk wacana bahasa Indonesia di bidang-bidang itu.

D. Pembahasan
1. Globalisasi
Proses globalisasi2) yang begitu cepat mengakibatkan transformasi budaya secara cepat pula. Dalam masa reformasi sekarang, bahasa Indonesia makin terbuka untuk pemerkayaan dan pencedekiaannya. Namun bukan berarti kita telah mengorbankan nasionalisme di bidang bahasa. Nasionalisme berkembang bersama transformasi budaya kita, dan pada masa kini nasionalisme harus didasari oleh:
a. Keterbukaan dalam pergaulan antarbangsa Ini mengandung maksud bahwa bangsa Indonesia harus siap menjawab tantangan bangsa-bangsa di dunia yang secara aktif melakukan upaya menjalin kerjasama dan berkomunikasi dengan bahasa internasional dan bahasa Indonesia. Dengan kata lain bahasa Indonesia harus mampu mewadahi semua kepentingan dalam hubungan multilateral dengan berbagai bangsa di dunia.
b. Kemampuan bersaing di antara kita sendiri dan dengan pihak luar. Selain persaingan di bidang ekonomi, pendidikan, olahraga, sains dan teknologi, bangsa Indonesia perlu memperhitungkan tentang fungsi bahasa sebagai alat penuang gagasan dan informasi. Dalam hal ini setiap permasalahan harus terwadahi dalam kosakata bahasa Indonesia sehingga dalam komunikasi di lingkup nasional, bahasa Indonesia harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
c. Kemampuan menetapkan jatidiri kita dengan menciptakan “wacana” kita sendiri di tengah pergaulan internasional. Pada kenyataanya tidak semua bangsa di dunia memiliki Bahasa Nasional, ini mengandung maksud bahwa bangsa Indonesia, seiring sejarah perjuangan mencapai kemerdekaan telah berhasil menetapkan bahasa Indonesia (dari bahasa Melayu), sebagai bahasa Nasional yang selanjutnya dijadikan salah satu bahasa resmi dalam dunia pendidikan dan bahkan dicantumkan dalam Undang-undang Dasar Negara sebagai bahasa negara.
2. Reformasi dan Perkembangan Kosakata
Gerakan reformasi yang muncul secara nyata pada bulan Mei 1998 sebenarnya merupakan dampak dari proses globalisasi tersebut. Berbagai informasi yang datang dari luar negara kita melalui pelbagai media, termasuk internet, telah membuka mata masyarakat mengenai ketidakadilan dan tindakan korup dalam berbagai bidang. Munculnya berbagai kosakata baru seiring dengan reformasi dianggap sebagai perubahan yang bersifat alami dan bisa dipahami semua kalangan. Langkah selanjutnya yang penting untuk dilakukan oleh bangsa Indonesia (dalam hal ini pemerintah Indonesia lewat Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) adalah mengatur pemakaian, pembakuan ejaan, penerjemahan, penaturalisasian, pelafalan yang baku, dan pola penulisan sehingga berbagai kosakata asing yang masuk menjadi salah satu anasir bahasa yang semakin memantapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa ilmu pengetahuan bagi generasi yang akan datang.
Ungkapan-ungkapan baru seperti status quo 3), korupsi, kolusi, nepotisme dan lain-lain sudah seharusnya dianggap sebagai konsekuensi logis dari sejarah perkembangan zaman. Pada setiap perubahan zaman akan secara seiring terjadi perubahan dalam khasanah bahasa. Pada masa revolusi kemerdekaan akan muncul berbagai kosakata yang terkait erat dengan permasalahan perang, demikian pun pada masa reformasi yang telah memunculkan berbagai kosakata baru yang senada dengan reformasi di berbagai aspek kehidupan.

3. Globalisasi dan kedudukan bahasa Indonesia
a. Bahasa Indonesia dan “ancaman” bahasa asing
Perkembangan pemikiran di dunia telah memberikan pengaruhnya kepada masyarakat dan bahasa Indonesia. Dalam berkomunkasi secara lisan maupun tertulis tampak sekali ada perubahan nyata terutama penggunaan kosakata asing yang dimaksudkan untuk memperjelas konsep dan penjelasan teknis dalam bidang tertentu. Menggunakan bahasa secara bervariasi dianggap hal yang biasa karena belum semua bahasa memiliki kemantapan kosakata untuk mewadahi semua permasalahan dalam kehidupan. Bahasa Inggris sekali pun dalam perkembangannya masih secara alami menyerap/ menggunakan kosakata asing untuk memantapkan kekayaan kosakata dan kemampuannya. Dalam konteks ini dikenal adanya bahasa yang hidup (artifisial) dan bahasa yang mati (arkais), yakni bahasa yang tidak menyerap kosakata bahasa asing karena berbagai alasan termasuk di dalamnya tidak terjadinya kontak budaya antarbangsa. Bahasa Indonesia termasuk kelompok bahasa yang hidup dan terus memperkaya diri untuk semakin memantapkan fungsinya sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Dari uraian tersebut terkandung maksud bahwa masuk dan terserapnya berbagai kosakata bahasa asing tidak perlu dianggap sebagai ancaman ketika bangsa Indonesia memang siap untuk menata struktur tata bahasa dengan aturan yang mantap. Dalam hal ini bangsa Indonesia telah memiliki aturan baku tentang pola penyerapan kosakata asing, (yang hal ini tidak menjadi perhatian utama bagi bangsa-bangsa lain yang sedang berkembang).
b. “Ketahanan” Kaidah Bahasa dalam Kognisi Penutur
Pada setiap penutur bahasa selalu ada dua kecenderungan. Sebagai masyarakat yang bilingual atau bahkan multilingual, terjadinya variasi penggunaan bahasa (kosakata) merupakan kejadian yang biasa. Alasan yang paling mudah dipahami adalah kepentingan komunikasi yang ekonomis (praktis) dan menghindari pemborosan energi saat berkomunikasi (tidak bertele-tele).
Terjadi kekhawatiran dalam perkembangan bahasa, bahwa bahasa Indonesia dimungkinkan mengalami pergeseran fungsi dari bahasa yang mantap dengan kaidahnya menjadi bahasa yang rusak (kacau). Hal tersebut tidak perlu terjadi jika selalu ada penyesuaian kaidah seiring dengan perkembangan bahasa. Sebagai bahasa yang berkembang (hidup) pada bangsa yang sedang berkembang, kesadaran akan perlunya memantapkan kaidah menjadi sangat penting. Kaidah yang mantap bukan berarti kaidah yang tidak berubah, melainkan kaidah yang secara aktif mampu menampung dan mewadahi kosakata baru dengan tata aturan yang konsisten, logis dan realistis.
Konsep penutur yang tanpa sadar menguasai kaidah bahasa sendiri, menjadi salah satu penguat alasan bahwa ketahanan kaidah bahasa Indonesia terhadap masuknya kosakata dan pengaruh bahasa asing bukan menjadi ancaman. Persentasi penggunaan bahasa Indonesia yang jauh lebih dominan akan menyebabkan bahasa serapan menyesuaikan diri dengan kaidah yang sudah ada dan sudah bertahun-tahun digunakan oleh penutur.
c. Upaya Memperkuat “Ketahanan” Bahasa Indonesia
Upaya pengembangan ketahanan Bahasa Indonesia mencakupi tiga aspek, yakni:
1) Menjaga agar setiap kata asing yang masuk memperoleh padanan yang berterima, sesuai dengan situasi pemakaiannya. Kecuali untuk tujuan pencedekiaan, sebaiknya kita tidak memperkenalkan kata baru, bila kata yang semakna sudah ada dan berterima, meskipun merupakan kata ambilan (pinjaman) sebagai akibat penerjemahan fonologis. Alternatif kata baru yang terlalu banyak dapat membingungkan masyarakat.
2) Menjaga agar tata bahasa Indonesia tidak berubah dan agar tetap dikuasai (meskipun secara tidak sadar) oleh penuturnya. Dengan demikian, gejala penjiplakan tata bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia dapat dan harus dicegah.
3) Menggalakkan penulisan dalam berbagai bidang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ragam dan larasnya.
Ketiga upaya itu dilakukan dengan penerjemahan 4), yakni dengan pengalihan peran berupa pemilihan padanan dan penjiplakan struktur (calque). Dalam hal ini cara pertama dianggap lebih baik, karena tidak menghilangkan ciri khas dan melanggar kaidah yang telah ditetapkan. Oleh karena itu pada aspek pengembangan yang kedua kita harus menyadarkan (baca: mendidik) masyarakat agar mengetahui prinsip-prinsip dasar tata bahasa Indonesia. Jadi, kalau dalam bidang leksikal masih mungkin dilakukan penerjemahan fonologis, -meskipun kadang-kadang belum berterima- maka di bidang tata bahasa seharusnya tidak terjadi penjiplakan sehingga struktur dasar bahasa Indonesia tidak dirancui oleh struktur bahasa asing yang masuk mrlalui penjiplakan itu.
Dengan kata lain sikap terbuka perlu dalam menyerap kata-kata asing yang masuk, apalagi dalam upaya pencendekiaan kosakata 5).

E. SIMPULAN
Perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan tidak dapat dibendung dan tetap akan menghadirkan unsur-unsur baru dari luar. Berbagai informasi yang datang dari luar negara kita melalui pelbagai media, termasuk internet, telah membuka mata masyarakat mengenai ketidakadilan dan tindakan korup dalam berbagai bidang. Istilah good governance sudah lama dilancarkan oleh kalangan internasional (antara lain oleh Bank Dunia) dan menjadi bahan perbincangan di pelbagai kalangan di Indonesia.
Dari kenyataan tersebut dapat dismpulkan bahwa:
1. Bahasa Indonesia perlu lebih terbuka dan responsif terhadap masuknya istilah dan kata asing, baik dengan cara mencari padanan maupun dengan penerjemahan fonologisnya.
2. Perlu dikembangkan dan lebih diseebar-luaskan prosedur penyerapan kata-kata asing termasuk cara penerjemahan fonologisnya.
3. Perlu dilakukan kodifikasi istilah tidak hanya pada laras “tinggi”, tetapi juga pada laras “rendah” untuk keperluan pendidikan pada tingkat praktik dan awam.
4. Diperlukan penelitian tentang penguasaan yang secara tidak sadar atas kaidah-kaidah dasar tata bahasa Indonesia pada penutur bahasa Indonesia sesuai dengan tingkat pendidikan, kelas sosial, dan usia, dan hasilnya diterapkan untuk keperluan pendidikan formal dan nonformal.
5. Masyarakat penutur bahasa Indonesia perlu disadarkan tentang adanya kaidah-kaidah tata bahasa yang tidak boleh dilanggar.
6. Perlu digalakkan tulisan dalam bahasa Indonesia di berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga terbentuk wacana bahasa Indonesia di bidang-bidang itu.
Catatan:
1. Disarikan dari makalah berjudul Kedudukan Bahasa Indonesia dan Tantangan Abad Yang Akan Datang yang ditulis oleh Beny H. Hoed (Universias Indonesia), sebagai salah satu tugas Pengantar Lingustik pada Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Surakarta
2. Globalisasi sudah pernah terjadi dalam sejarah dunia, antara lain, ketika kebudayaan mekanisasi pertanian dan Mesopotamia melanda berbagai masyarakat di dunia dan masa setelah Revolusi Industri di Eropa yang melahirkan industrialisasi dan kapitalisme di pelbagai bagian dunia. Jacquemond (1992) juga menggambarkan bagaimana penerjemahan buku-buku dalam berbagai bidang merupakan sarana yang mempermudah masuknya kebudayaan negara maju ke negara berkembang. Jacquemond mengemukakan bahwa jauh lebih banyak buku dari “Utara” diterjemahkan ke dalam bahasa “Selatan” daripada sebaliknya (Jacquemond, 1992:139-158). Ia memperkirakan penerjemahan dari “Utara” ke “Selatan” sebanyak 98-99 persen, sedangkan dari “Selatan” ke “Utara” sekitar 1-2 persen saja. Jadi, terjemahan pun merupakan sarana bagi proses globalisasi.
3. Mereka yang mengalami perang kemerdekaan (1945-1948) masih ingat istilah tersebut, yaitu garis batas antara kawasan RI dan kawasan pendudukan Belanda sebagai dampak dari perjanjian Renville dan perjanjian Linggarjati. Garis batas ini disepakati untuk tidak dilampaui oleh masing-masing pihak.
4. Yang dimaksud dengan penerjemahan di sini adalah penggantian unsur bahasa asing dengan unsur bahasa Indonesia dengan tujuan mengalihkan pesannya.
5. Pencedekiaan kosakata adalah upaya membuat makna kata menjadi lebih terperinci, seperti dalam perbedaan antara bekas dan mantan, antara bagus dan canggih, antara pakar (expert) dan ahli (specialist) atau istilah asing seperti curah pendapat (brainstorming). Pencendekiaan seperti itu pasti diperlukan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan berbagai bidang profesi.





DAFTAR PUSTAKA


Barthes, R. 1957. Mythologies. Paris: Seuil.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1955. Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Durkehim, E. 1937. Les formes elementaires de la vie religieuse. Paris: Felix Alcan.

Hoed, B. H. 1977. “Kata Mubazir dalam Berita Surat Kabar Harian Berbahasa Indonesia” dalam Bahasa dan Sastra tahun III, Nomor 2:2-12. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Jacquemond, R. 1992. “Translation and Cultural Hegemony: The Case of French-Arabic Translation” dalam L. Venutti (Penyunting). Rethinking Translation, London: Routledge.

Levi-Strauss, CI. 1945. “L’analyse structurale en linguistique et en anthropologie” dalam Word, jilid ½: 1-21.

Marinet, A. 1967 (1960). Elements de linguistique generale. Paris: Armand Colin.

(de) Saussure, F. 1916. Cours de linguistique generale. Paris: Payot.

Suenobu, M. Dan K. Kanzaki dan S. Yamane, 1989. From Error to Intelligibility. Kode: The Institute of Economic Rsearch, Kobe University of Commerce.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

matwun bapa...
kula nderek bibinau njiH...