Ngoyak Setoran
Oleh: Bambang DS
Telepon seluler itu berdering, ketika diterima dari seberang jauh sana terdengar ucapan polos seorang bocah perempuan,”Pa, nanti anterin Adik ke SGM ya?! Jawab Sang Papa dengan suara penuh gundah, “Aduh Dik, Papa nggak bisa. Maafin Papa ya Dik?! Minggu siang aja ya, Papa lagi sibuk nih. Malam Minggu ini Papa harus lembur lagi?!
Dengan perasaan kesal yang ditahan Si Adik langsung diam dan mengangguk, meski perangai kecewanya tidak bisa disembunyikan. Perubahan raut wajah Si Adik di seberang sana tentu saja dapat ditangkap oleh perasaan hati bijak Sang Papa, yang tentu sangat menyesal. Rasa capek yang sudah tertumpuk selama hampir satu minggu ini rasanya semakin menyiksa dan membuatnya sakit di sekujur tubuhnya.
Mengapa ya, akhir-akhir ini aku semakin jarang pulang awal? Istriku tampaknya oke-oke saja. Si Abang, anakku yang besar tampak gak masalah, atau mungkin dia sudah mulai bisa menenggang rasa. Begitu pikir Sang Papa mulai menerawang ke belakang. Capek, penat, dan kadang kesal, pada siapa? Ah, masih terlalu sulit untuk dijelaskan.
Sebagai seorang pegawai biasa, Sang Papa memang terbilang tidak begitu cemerlang karirnya. Jauh dari kata profesional apalagi berprestasi. Ya, mungkin sekedar memenuhi tugas pokok dan fungsi saja. Tertib, prosedural, ikuti arus global, dan mungkin lugu. Mimpi Sang Papa juga tidak terlalu muluk-muluk. Jadi sosok yang diterima oleh keluarga, masyarakat, teman dan atasan, mungkin cukuplah. Bagi Sang Papa, hidup tak lebih sekedar menjalani, saderma nglakoni, just do it, begitu katanya. Dan itu membuatnya tidak mudah silau oleh keadaan, tidak mudah terpengaruh oleh iklan, tidak menggilai jabatan, apalagi publikasi dan tepuk tangan. Semua itu jauh dari agenda kesehariannya.
Sang Papa bisa dikategorikan manusia biasa, yang tak sempurna, dan kadang salah. Tapi tentu saja bukan karena disengaja. Berpakaian seperti temannya, makan ala kadarnya, jauh dari hura-hura, tetapi rajin bertegur sapa kepada sesama. Menjalin ukhuwah katanya, memperkuat tali silaturrahmi orang bilang, dan membangun komitmen kata para pakar manajemen. Hidup dalam batas standar kewajaran, Sang Papa tidak suka memboroskan uang. Tidak punya kesenangan yang menyerempet bahaya, bahkan bisa dibilang hati-hati dalam membelanjakan uang. Meski demikian, belum pernah Sang Papa menolak orang meminta-minta di jalan. Sangat menyesal ketika tidak bisa memberikan sedikit titipan Tuhan yang memang menjadi hak mereka, para dhuafa yang terpinggirkan.
Dalam beribadah, Sang Papa juga tidak masuk kalangan elit papan atas, yang menunggu muazin mengumandangkan azan. Biasanya dia beranjak dari tempat kerja ketika yang lain mulai bergerak. Saat asyik bekerja, kadang harus ada ajakan teman yang mengingatkan. Bahkan tak jarang Sang Papa menyusul Sang Imam di rakaat ke dua. Memang benar-benar tidak ada istimewanya Sang Papa ini, apalagi untuk sebuah kata fenomenal, menginspirasi.
Tetapi, …. kali ini benar-benar ada yang mengusik hati Sang Papa. Ada yang membuatnya masygul bukan kepalang. perutnya mules, pikirannya puyeng, jantungnya deg-degan, dan hatinya perih-miris seperti tersayat sembilu, begitu kata Dian Pisesa lewat sebuah lagu. Mengapa untuk pulang ke rumah saja aku harus menunggu waktu berlalu bersama asas kepatutan yang dipaksakan. Mengapa untuk menyenangkan perasaan buah hatiku yang masih rindu perhatian orang tua sepertiku saja, aku harus terpaksa berlidah kelu. Mengapa untuk sebuah setoran yang tidak pasti kudapatkan saja aku harus rela berbadan kecut, bermuka kusut, berbalut kentut, di tengah kerumunan kaum cendekiawan yang sering terbang di awan. Mengapa untuk belajar menjadi orang terhormat seperti para birokrat itu aku harus berpenat-penat, berpikir telat-singkat-kadang sesat, bahkan hampir sekarat. Ingin aku bertobat, tapi aku ragu, benarkah ini kesalahanku. Salahkah aku jika bermimpi ini semua tidak benar?
Ah, setengah sadar Sang Papa mencoba meredakan kekalutan pikirannya. Mungkin aku terlalu sensi dan lebai, kurang pandai beradaptasi, lagian aku kan tidak sendiri. Meski badan bau terasi, hati ini masih suci murni. Meski pikiran ini terbuai mimpi, nurani ini masih menjadi kendali.
Ya, biar mereka berkibar di awan, dan aku tetap menjadi pengait kecil di ujung tali. Setidaknya aku masih punya harga diri, punya nyali untuk tetap berkontribusi bagi kejayaan negeri. Biar mereka berada di garda depan, menebar harapan, melambaikan tangan dengan seulas senyuman, menafsikan keluhan, memberondong seperti moncong senapan, demi NGOYAK SETORAN yang aku juga tidak tahu, sampai kapan.
1 komentar:
Kolaborasi selalu menuntut kita memang lebih banyak berkorban (meski jauh dari asas keberimbangan). Mengoreksi sesuatu yang kadang memang tidak cocok (suka) bagi kita. Atau kadang hanya tersenyum simpul dibawah jutaan kepura-puraan. Tapi setahu saya memang kita berada dalam sistem yang demikian (meski sbenarnya itu buatan kita sendiri). Mungkin ada yang melah berpikir, jika ujungnya bengkok, mana mungkin sebuah tombak akan tepat sasaran, sekuat apapun kita mendorong. Semua yang hadirpun (mungkin) punya perasaan yang sama. Hari itu, Si Kecil terkantuk karena lama menunggu. Ketika aku datang, ia terbangun dan hanya bertanya, "Abi bawa apa?". Kuberikan sebungkus roti yang sempat kusimpan saat acara (Penting?) tadi. Ia hanya tersenyum dan memegang sebungkus roti tadi, matapun kembali terpejam.... sampai pagi.
Posting Komentar