Selasa, 18 Mei 2010

ALIRAN FEMINISME DALAM SASTRA

A. PENGANTAR / PENDEKATAN

Pembahasan tentang kritik sastra feminis yang mengarah kepada pengertian dan pendekatan, perlu diawali dengan sebuah pertanyaan yang relevan, yakni ”Apakah kritik sastra feminis itu?”. Kritik sastra feminis dapat diartikan sebagai ”seorang pengritik harus menyadari adanya jenis kelamin lain yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan” (baca : perempuan). Selama ini orang selalu berfikir bahwa laki-laki selalu menjadi kunci dalam berbagai permasalahan kehidupan manusia. Ini mengandung arti bahwa laki-laki lebih banyak berbicara tentang kehidupan perempuan, sementara jarang (sedikit) seorang perempuan berbicara tentang laki-laki.
Kritik sastra feminis bukan berarti pengritik perempuan (atau perempuan pengritik?), bukan pula kritik tentang perempuan, melainkan membaca sebagai perempuan. Secara jelas dilukiskan oleh Culler (1983) yang menyebut sebagai reading as a woman, membaca sebagai perempuan. Yoder (1987) menyebut bahwa kritik sastra feminis itu bukan berarti pengritik perempuan, atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang pengarang perempuan; arti sederhana kritik sastra feminis adalah pengritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. (Sugihastuti, 2002 : 5).
Lebih lanjut dikatakan bahwa kritik sastra feminis merupakan upaya yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat membaca sebagai perempuan, mengarang sebagai perempuan, dan menafsirkan karya sastra sebagai perempuan. Dalam permasalahan ini ternyata terdapat perbedaan yang nyata ketika para pembaca perempuan dan kritikus perempuan membawa persepsi, pengertian, dan dugaan yang berbeda pada pengalaman membaca karya sastra apabila dibandingkan dengan laki-laki.
Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Weedon (1987) yang menjelaskan tentang faham feminis dan teorinya, bahwa faham feminis adalah politik, sebuah politik langsung mengubah hubungan keluarga, kekuatan kehidupan antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Kekuatan ini mencakup semua struktur kehidupan, segi-segi kehidupan, keluarga, pendidikan, kebudayaan, dan kekuasaan. Segi-segi kehidupan itu menetapkan siapa, apa, dan untuk siapa, serta akan menjadi apa perempuan itu. (Sugihastuti, 2002 : 5).
Berkaitan dengan pendekatan dalam kritik sastra feminis, pada makalah ini hendak diusahakan penyederhanaan pemahaman tentang parasangka gender. Prasangka gender (bias gender) perlu segera mendapatkan perhatian dan langkah penjelasan. Dan adanya praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patriarkhat, yang sampai sekarang diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan sastra, perlu segera dibongkar. Dengan kata lain kemampuan perempuan dalam bersastra, mengritik sastra, memberikan warna dan pencitraan terhadap sastra harus diperhitungkan dan tidak lagi dinomorduakan.

B. LANDASAN TEORI

Menurut M.H. Abrams, pendekatan yang digunakan untuk memberikan kritik kepada karya sastra (terutama novel) sedikitnya ada 4, yakni pendekatan mimetik, pendekatan pragmatik, pendekatan ekspresif, dan pendekatan objektif. Sedangkan Rahmad Djoko Pradopo menjelaskan bahwa teori strukturalisme merupakan pendekatan yang bersifat objektif, yaitu pendekatan yang menganggap karya sastra sebagai ”makhluk” yang berdiri sendiri. Karya sastra bersifat otonom, terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan bahkan pengarangnya sendiri. Oleh karena itu untuk dapat memahami sebuah karya sastra (novel), karya sastra (novel) itulah yang harus dianalisis struktur intrinsiknya. (Sugihastuti, 2002 : 43).
Menurut Anton M. Moeliono yang dikutip oleh Sugihastuti, kritik sastra feminis merupakan salah satu teori kritik sastra yang paling dekat untuk dipakai sebagai alat penjawabnya. Dalam arti leksikal, feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Sedangkan menurut Philips Bob Cock Goefe feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan (Sugihastuti, 2002 : 18)
Dalam ajaran Islam pun permasalahan gender mendapatkan perhatian yang sangat serius, sebagaimana ilustrasi berikut, “Yang dijadikan pegangan dalam pandangan Islam ialah bahwa wanita dan pria, atas dasar kenyataan bahwa yang satu adalah wanita dan yang lain adalah pria, tidaklah identik dalam banyak hal. Dunia mereka tidaklah persis sama, dan watak serta pembawaan mereka tidaklah dimaksudkan supaya identik. Oleh sebab itu dalam banyak hak, kewajiban, dan hukuman, keduanya tidak harus menempati kedudukan yang sama. (Murtadha, 1995 : 79).
Tampaklah bahwa berbagai pemikiran intensif tertuju pada permasalahan ini. Terlepas dari itu tampak jelas bahwa semangat dan konsentrasi dunia sedang terfokus pada upaya memberikan tempat lebih leluasa kepada wanita untuk lebih tampil di depan dibandingkan waktu-waktu sebelumnya.

C. PROBLEMATIKA
Berbagai permasalahan muncul saat kata feminisme diketengahkan, mulai dari politik, ekonomi, hukum, agama, dan termasuk di dalamnya sastra. Berbagai pembicaraan harus mengalami penekanan khusus saat kata feminisme menjadi salah satu bagiannya. Dalam dunia politik, timbul berbagai pemikiran manakala keberpihakan kepada wanita relatif kecil, terbukti jumlah wanita yang bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan kaum laki-laki sangat terbatas. Bagaimana mengukur ketidakadilan yang dialami perempuan? Dari segi politik, representasi perempuan di Indonesia termasuk paling rendah peringkatnya di tingkat dunia, yakni 74 dan hanya mencapai angka 8 persen (dari 500 anggota DPR hanya 40 orang perempuan). (Arivia, 2006 : 4).
Pemeran paling dominan dalam bidang ekonomi pun kaum pria, ini tidak bisa dipungkiri manakala para pemilik perusahaan besar adalah kaum laki-laki. Jika ada satu dua wanita di dalamnya, mereka hanya berperan sebagai second level (person) saja. Hak kepemilikan harta kekayaan dan properti menjadi dominasi laki-laki.
Bagaimana dengan hukum dan agama? Tentu tidak jauh berbeda keadaannya. Kaum perempuan selain tidak mendapatkan peranan yang penting dalam dua segi kehidupan yang terakhir tersebut, mereka lebih banyak menjadi sasaran (objek), dan belum banyak berperan sebagai pelaku (subjek/ agent). Sepanjang sejarah di belahan dunia patriarki seperti di Indonesia, representasi isu-isu perempuan di segala bidang (politik, ekonomi, budaya, agama, dan sebagainya) telah dikesampingkan dan ditolak di dalam wacana publik. Sedikit sekali kita menyaksikan perdebatan-perdebatan isu-isu perempuan apalagi mempermasalahkan ”kekuasaan” (power) yang telah direbut laki-laki di dalam dunia publik (Arivia, 2006 : 4)
Sedangkan permasalahan dalam bidang sastra, agak berbeda. Banyak karya-karya penulis wanita, akan tetapi sudut pandang perempuan (kewanitaan) dalam dunia sastra dianggap masih relatif terbatas. Bagaimana upaya mereka mengangkat persoalan wanita dalam sastra belum mendapat sambutan hangat (sepenuhnya) dari kaum pria. Kepedulian laki-laki terhadap permasalahan perempuan baik dalam tindakan nyata (kehidupan) maupun dalam wacana sastra belum mencapai porsi yang semestinya, kecuali pada beberapa tokoh sastra seperti Toety Herati (wanita) dan Pramoedya Ananta Toer (pria).
Melihat karya-karya Pramoedya yang sarat dengan permasalahan perempuan di berbagai karyanya, terlihat jelas keinginan Pramoedya mengemukakan perasaan, pemikiran, dan problem perempuan pada zamannya, yang masih sangat relevan hingga kini. Berikut adalah masalah-masalah perempuan yang diangkat oleh Pramoedya: perempuan sebagai objek, perempuan kuat berkarakter, dan kekerasan terhadap perempuan (Arivia, 2006 : 140-147).
Pada pemikiran Toeti Heraty, sosok wanita perlu mendapatkan perhatian dan pengkajian secara lebih intens, karena sosok wanita pada satu sisi bisa lebih hebat dari pria, baik kemampuan berpikir maupun bertindaknya. Sebut saja tokoh janda Calon Arang. Feminin writing yang dilakukan oleh Toeti Heraty terlihat bebas, liar dengan ijmajinasi, tanpa kekangan, kata-kata yang terus mengalir tidak bisa dibendung, ia melepaskan ikat tali segala ”norma-norma” yang melilit. Calon Arang memperlihatkan kepada kita bahwa perempuan mampu untuk memberontak dengan membiarkan bahasa-bahasanya berlari bebas ke segala arah dan tidak perlu sama sekali harus dipimpin oleh rasio seperti yang diyakini Keith Foulcher dalam epilog Calon Arang karya Toeti Heraty; bahwa karya Toeti mengajak pembaca untuk berpikir. Sedangkan saya sendiri cenderung menganggap karya Toeti mengajak para pembaca untuk bergairah karena hanya dengan gairah/ keinginan bukan rasio, perempuan dapat bebas dari struktur-struktur pemikiran laki-laki. Karena pada akhirnya, ’toh’ para perempuan hanya dapat bebas dari penindasan bila ada gairah/ keinginan dan bukan rasio. (Arivia, 2006 : 159).

D. APLIKASI KRITIK FEMINISME DALAM SASTRA

Pada bagian ini hendak diuraikan secara singkat bagaimana realitas feminisme dalam karya sastra, baik puisi, cerpen, maupun novel. Ada kecenderungan untuk berfikir segalanya tentang wanita (oleh, tentang, dan untuk wanita). Gejala ini tampaknya bukan tanpa sengaja. Di berbagai toko buku, tampak bermacam nuansa (bentuk) yang secara khusus (jika tidak bisa dikatakan berlebihan) membahas tentang wanita. Akan berbeda halnya tentang pria, yang hampir tidak ditemukan pembahasannya secara langsung (khusus).
Seperti halnya mode pakaian, wanita mendapatkan porsi perhatian lebih banyak dan beragam. Sama dengan kodrat wanita yang memungkinkannya memakai pakaian pria, sedangkan pria tidak mungkin mengenakan pakaian wanita. Pembahasan masalah wanita oleh wanita dan pria menjadi umum jika dibandingkan pembahasan pria oleh wanita, atau pria oleh pria.
Tidak berbeda pula tentang model wanita (wanita model), yang menarik bagi sesama jenisnya, apalagi bagi kalangan pria. Tampak jelaslah bahwa sebenarnya semangat feminisme bukan sesuatu yang harus dipersoalkan, karena secara kodrati, wanita memang sudah lebih banyak mendapat perhatian lebih. Demikian pun dalam karya sastra.
Berikut tentang tiga contoh karya sastra berbentuk cerpen, puisi, dan novel yang mengungkap tentang wanita dan feminisme.

Cerpen
a. Cerita dari Blora,
karya Pramoedya Ananta Toer (dalam Gadis Arivia)
Dalam kisah tentang ‘Inem’, dilukiskan bagaimana ketidakberdayaan seorang perempuan kecil Inem, dari kungkungan kekuasaan Emak, majikan, dan suaminya yang telah mengekploitasinya dari berbagai kepentingan kehidupan, sebagaimana cuplikan berikut:
“Ndoro,” kata emak si Inem, “aku datang untuk meminta si Inem”.
“Mengapa si Inem diminta? Bukankah lebih baik kalau dia di sini? Engkau tak perlu mengongkosi dan di sini dia bisa belajar memasak.”
“Tapi Ndoro, habis panen ini aku aku bermaksud menikahkan dia.”
“Ha? Seru ibu kaget. Dinikahkan?”
“Ya, Ndoro. Dia sudah perawan sekarang-sudah berumur delapan tahun,” kata emak si Inem.
Pada bagian lain :
“Mengapa engkau bercerai dengannya?”
Ia tak menjawab.
”Engkau pijiti dia kalau pulang kelelahan mencari rejeki?” tanya bunda menyelidiki.
”Ya. Ndoro, semua pesan sudah Inem jalankan”.
”Mengapa bercerai juga?”
”Ndoro, dia sering memukuli Inem.”
“Memukuli? Anak begini kecil dipukuli?”
“Inem sudah berbakti, Ndoro. Dan kalau dia memukuli, dan Inem kesakitan, berbakti jugakah itu, Ndoro? Tanyanya betul-betul minta keterangan. (Cerita dari Blora, dalam Arivia, 2006 : 141).

b. Karena Wanita Ingin Dimengerti,
karya Esma Mahmudya (cerpen terpopuler, Yahoo.com)
Cerpen ini mengisahkan pemikiran yang sangat menolak atas keberadaan wanita dengan segala keunikannya, sampai pada pengandaian jika tidak ada wanita di muka bumi ini. Kejenuhan akan wanita, membuat tokoh utama yang sangat tidak nyaman atas kehadiran wanita di sekitarnya, menjadi berubah wujud dirinya dari pria ke wanita. Kasus ini menandakan bahwa ada kebosanan akan satu dunia, yang di mata penulis bisa menjadi dua dunia, dan itu telah menjerat tokoh utama menjadi figur wanita. Sebagaimana penggal cerita berikut:
Setengah melompat dari tempat tidur, Gerry langsung memelototi cermin di kamarnya. ”AAAAHHH! GUE JADI CEWEK!!” Seketika, pintu kamar Gerry terbuka dan ibunya melangkah masuk dengan jengkel. ”Gabby, ada apa sih kamu? Bukannya siap-siap ke sekolah, malah jerit-jerit ga keruan!” ”Bu, aku...”, tiba-tiba Gerry terdiam. Tunggu sebentar! Tadi, ibunya memanggil dia apa? ”Bu, tadi manggil aku apa ya?” ”Ya ampun, masa lupa nama sendiri? Sudah deh Gabby, buruan kamu mandi. Nanti telat!” Dan Ibu pun keluar sebelum Gerry sempat berkata apa-apa lagi. Gerry terduduk lemas di tempat tidur. Apa sebenarnya yang terjadi? Apa dia kena semacam virus berbahaya yang dapat mengubah kelamin seseorang? Tapi, masa ibunya tidak berkomentar apa-apa! Pokoknya, harus ada yang bisa menjelaskan ini semua! Gerry bangkit dan berjalan untuk membuka pintu lemarinya. Ia nyaris pingsan begitu melihat isinya: BH, rok, blus, daster, kerudung, dan segala macam aksesoris perempuan! Sambil mengerang, ia mencomot seragam sekolahnya dan...sejenis pakaian dalam. ”Masa gue harus pakai beginian...?” Tapi kengerian sebenarnya baru muncul saat dia sudah keluar kamar dan masuk ke kamar mandi. Gerry melepas semua bajunya dan menatap ke bawah, ke ’tubuhnya yang baru’. Seketika, ia kembali menjerit, ”AAAAHHH!!” Ibunya, yang sedang menyiapkan sarapan, menatap sewot ke pintu kamar mandi. ”Kenapa sih itu anak?”
............................................................................................................................. Mata Gerry terbuka. Ia terbangun dengan kaget, dan menatap sekelilingnya. Ia telah berada kembali di kamarnya, di pagi hari. Spontan Gerry mengamati tubuhnya sendiri. Rambut pendek! Dada rata! Ia langsung berteriak girang, ”GUE COWOK LAGI!!” Pintu kamar terbuka, dan ibu Gerry masuk sambil mencak-mencak. ”Kamu ini, Gerry! Bukannya siap-siap ke sekolah, malah teriak-teriak!” Gerry langsung melompat dari tempat tidurnya dan memeluk ibunya erat-erat. Ibu tentu saja terkejut, ”Kenapa kamu, Ger?” ”Bu, maafin aku sudah sering nakal dan ga nurut sama Ibu. Aku sayang ibu”, bisik Gerry. Ibunya tersenyum bingung, ”Iya, ibu maafkan. Ibu juga sayang kamu. Sudah, segera kamu siap-siap” Setelah Gerry melepaskan pelukannya, Ibu keluar sambil berkata, ”Di meja kamu ada gambar buatan Evi. Katanya, dia ingin tunjukin itu sama kamu” Gerry mencomot kertas gambar di mejanya, dan menatap gambar di situ. Ternyata, itu adalah gambar wajah dari Gerry, dengan tulisan di bawahnya, ”Kakakku Tersayang”. Gerry merasakan haru, terbayang di benaknya wajah bulat berkerudung adiknya. Nanti, ia harus berterima kasih pada Evi dan memuji gambarnya. Gabby terduduk kembali dan melamun. Apakah benar semua kejadian saat ia menjadi ’Gabby’ hanyalah mimpi belaka? Rasanya itu terlalu nyata sebagai mimpi...Tanpa sadar, Gerry menatap ke bawah, ke lutut kirinya. Ada bekas luka di situ.

Puisi
a. Tak Kutahu
karya Stella Punama Chandra

Hari itu, di tengah hujan itu
Akankah kau membawaku?
Ke alam mimpi yang nyata
Menembus dada yang berkelana

Kulihat wajahmu membias jauh
Di setapak ilalang yang runtuh
Terbawa angin yang merana
Desir yang sengsara

Kupandang sepotong hati yang keriput
Sepenggal nafas yang tak tersentuh
Terbuai cahaya yang merebak
Dalam desah dan air mata

Kuraba hadirmu yang menggantung
Di selapang jiwa yang hangus
Tertoreh luka yang menyala
Sedih yang terbawa

Hari ini di tengah rintik itu
Inginkah kau menarikku?
Ke ruang hampa yang bergolak
Menembus ombak yang berarak

Pada puisi tersebut tampak suasana batin wanita yang sedang resah, sedih, dan merana. Demikian ilustrasi nyata tentang profil seorang wanita. “Akankah kau membawaku, ke alam mimpi yang nyata”. Tidak terlintas sedikit pun gambaran seorang laki-laki, baik dari ungkapan maupun makna setiap kata-katanya. Ada kesan kepasrahan seorang wanita yang mengakui kodratnya, sebagai makhluk yang dianggap lemah, tanpa harus menyatakan keinginan yang lain.
Kata-kata yang dipilih pun memberikan gambaran pasti tentang wanita, seperti kata “Kupandang sepotong hati yang keriput”. Ungkapan ini bernuansa wanita sebagai pengucapnya. “Inginkah kau menarikku?”, tentu terasa unsur pasif, dibandingkan uangkapan seorang laki-laki, “Aku ingin menarikmu”, yang terkesan lebih aktif, dan lain-lain.


b. Poligami Award
karya Anis MQ

Senyummu merekah
Renyah
Tergambar penuh anugerah
Berbahagialah,
Tidak semua laki-laki
Bisa sepertimu
Tidak semua wanita
Bisa seperti istrimu
Kau genggam kebanggaan
Dalam award yang kau tawarkan
Kau tunjukkan pada awam
Salah satu jalan menuju kesuksesan
Adakah di sudut hatimu
Secerah senyum di bibirmu
Menebar pesona, di antara taman sarimu
Indahnya saat ini
Membuat beberapa laki-laki iri
Membuat beberapa wanita ngeri
Karena award poligami
Dalam ketidak habis pikirku
Hatiku bertanya: ”Mengapa yang mendapat award
bukan istri pertama?”
(Yang ’rela’ dimadu, bahkan kadang hingga beberapa kali)

Pada puisi tersebut tergambar protes lemah, yang tidak disertai kemauan mancapai kemenangan secara tuntas. Ada kepasrahan seorang wanita yang dilontarkan dalam pertanyaan tak berjawab, karena memang sedemikianlah seharusnya menurut pikirnya. Adalah sebuah ajakan moral kepada laki-laki untuk bertobat dan mulai bepikir dengan benar dan jelas tentang perempuan (wanita) istrinya, setidak-tidaknya.

Novel
a. Makanya Jangan Sok Seksi
karya Indari Mastuti
Pada novel yang satu ini permasalahan paling mendasar diungkapkan adalah tentang seputar dunia wanita, mulai dari sikap sok seksi, pakaian wanita, kecenderungan wanita, pesta dan sebagainya. Sikap dan perilaku wanita yang membedakannya dengan makhluk bernama laki-laki atau pria. Ditulis oleh wanita, bertokohkan wanita, dan berbicara tentang wanita, demikianlah gambaran singkat novel ini. Terbukti bahwa dunia wanita telah memiliki atmosfer yang lebih leluasa dibandingkan dunia laki-laki, terutama dalam kehidupan bersastra secara universal.
Sebagaimana penggal cerita berikut:
Normalnya Agatha tidak menyukai rok, apalagi rok mini. Kesukaannya adalah memakai celana panjang dan ... mesti jins pula. Ke kampus, kondangan, mal, pasar bahkan WC pun, celana jins tidak pernah lupa menempel di kaki cewek yang satu ini. Cuma beberapa hari ini ada yang aneh ... Papa, Mama, Ega, Om, Tente, pembantu, apalagi Gerombolan Imut-imut tapi Amit-amit yang adalah geng Agatha sampai kebingungan. Pasalnya ....
”Mau ke mana sih, Gath?”tanya Mama saat menjumpai Agatha dalam pakaian yang superseksi. Roknya itu lo hampir-hampir balapan sama ehm.... sori ya, celana dalam.
......................................................................................................................

b. Calon Arang
karya Toeti Heraty
Dalam penggal cerita ini dikisahkan sesosok tokoh Calon Arang yang tua, merana, dan tersisihkan, anak gadis cantiknya pun tidak pernah didekati laki-laki karena takut akan keberadaan ibunya, Calon Arang. Lukisan tentang keberanian dan kekejaman seorang tokoh perempuan, sebagai berikut:
”Nenek sihir dengan rambut terjurai lidah terjulur, taring dan kuku mencengkeram dengan susu bergelayutan, dia juga perempuan lanjut usia yang kebablasan geramnya.
Janda, adalah perempuan ditinggalkan kekasihnya antara perawan jatuh cinta, dan janda yang meratap kehilangan, ada jurang kesenjangan – janda dengan berbaring di ranjang, rasa hampa yang berdetak didekapnya guling ini pulalah dialami oleh Calon Arang yang berang”. (Arivia, 2006 : 155).

E. SIMPULAN
Setelah mengikuti alur pemikiran feminisme dalam sastra, dapat penulis simpulkan beberapa pemikiran sebagai berikut:
1. Feminisme merupakan gaya dalam bersastra dan kehidupan
2. Adanya kesadaran tentang perbedaan pria dan wanita, menyebabkan timbulnya semangat menyejajarkan kedudukan dan fungsi dalam kehidupan
3. Dalam feminisme keberadaan wanita dan pria yang dipertentangkan untuk sebuah kepentingan, mestinya tidak perlu terlalu dibesar-besarkan bilamana kesadaran akan fungsi masing-masing sudah dapat berjalan.
4. Setelah dikaji lebih dalam tampak bahwa dominasi wanita terhadap pria dalam banyak segi (karya sastra) sangat jelas (ruang lingkupnya lebih luas).
5. Karya-karya sastra banyak mengikuti pemikiran modern, termasuk kemauan wanita dalam memainkan perannya.
6. Kepada para pria, perlu dipikirkan tentang feminisme ini sebagai semangat untuk menjadi feminis (semangat untuk menentang patriarki dan seksisme) dan bukan female yang sama sekali tidak memiliki sikap (toleran, mau membantu, dan melihat secara proporsional).



DAFTAR PUSTAKA


Anis MQ, 2005. Sang Pencinta, Yogyakarta: Jogja Global Media

Gadis Arivia, 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Indari Mastuti, 2005. Makanya Jangan Sok Seksi, Jakarta : Gramedia Widyasarana Indonesia.

Sugihastuti dan Suharto, 2002. KRITIK SASTRA FEMINIS Teori dan Aplikasinya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Muthahhari, Murtadha, 1995. Hak-hak Wanita dalam Islam, Jakarta : Lenter Basritama.

1 komentar:

Zora Febriyanti mengatakan...

Terima kasih banyak atas postingannya. Membantu sekali dan sangat berguna untuk referensi pengetahuan baru. Tetap berkarya :)