Selasa, 18 Mei 2010

CIRI-CIRI KEBAHASAAN PADA ANAK USIA 1 – 5 TAHUN DALAM PROSES PEMEROLEHAN BAHASA

(sebuah kajian pragmatik)

BAMBANG DWI SASONGKO

Mahasiswa Pascasarjana Program Pengkajian Bahasa
Universitas Muhammadiyah Surakarta

ABSTRAK

Pemerolehan bahasa pada anak usia 1 – 5 tahun merupakan proses yang bersifat fisik dan psikhis. Secara fisik, kemampuan anak dalam memproduksi kata-kata ditandai oleh perkembangan bibir, lidah, dan gigi mereka yang sedang tumbuh. Pada tahap tertentu pemerolehan bahasa (kemampuan mengucapkan dan memahami arti kata juga tidak lepas dari kemampuan mendengrkan, melihat, dan mengartikan simbol-simbol bunyi dengan kematangan otaknya. Sedangkan secara psikhis, kemampuan memproduksi kata-kata dan variasi ucapan sangat ditentukan oleh situasi emosional anak saat berlatih mengucapkan kata-kata. Anak-anak yang mendapatkan bimbingan dan dorongan moral yang sangat kuat akan memperoleh kata-kata yang banyak dan bervariasi dibandingkan anak-anak lainnya. Makalah ini menguraikan secara singkat dan sederhana proses pemerolehan bahasa tersebut secara pragmatis.

Kata kunci : bahasa, anak, proses, fisik, psikhis. Simbol, bunyi, makna, otak, emosional, pragmatis.

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Kemampuan berbahasa anak ditentukan oleh massa pertumbuhan yang sangat potensial yakni dalam kisaran usia 0 sampai dengan 11 tahun (catatan kuliah Prof Kunardi, dalam mata kuliah Pemerolehan Bahasa). Hal ini belum banyak dipahami oleh para orang tua, sehingga banyak anak-anak yang mengalami keterlambatan dalam belajar bahasa. Dengan keterlambatan waktu pemerolehan bahasa inilah terjadi berbagai permasalahan dalam penguasaan bahasa baik secara praktik maupun teoretis.
Secara praktis, timbul berbagai kendala dalam pengucapan kata-kata tertentu, misal pengucapan fonem r (getar), yang bahkan sampai tua pun kesulitan tersebut masih terbawa, mestinya hal tersebut tidak perlu terjadi jika orang tua secara sadar dan kontinyu melatihkan pengucapan fonem getar kepada anak-anak mereka pada usia antara 0 – 11 tahun. Sedangkan secara teoretis, pemahaman makna kata oleh anak sangat dipengaruhi kemampuan memori dalam otaknya yang masih jernih dan belum terkontaminasi oleh Perubahan sikap dan perilaku manusia khususnya kaum remaja, (termasuk di dalamnya siswa), sangat erat hubungannya dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ( dalam hal ini media cetak dan elektronik). Perubahan sikap mereka tampak dalam bahasa mereka ketika berkomunikasi, sedangkan perubahan perilaku mereka dapat diidentifikasi dari cara mereka berpenampilan dan bertindak-tanduk dalam kesehariannya.
Etika berkomunikasi dan bertindak tanduk dalam kultur masyarakat Jawa merupakan bagian terpenting untuk diperhatikan dan diterapkan secara tepat dalam kehidupan sehari-hari. Seorang anak yang sedang berkomunikasi dengan orang tuanya, seorang siswa yang sedang menghadap kepada gurunya, seorang guru yang sedang berbincang-bincang dengan kepala sekolahnya, dapat dijadikan tolok ukur kebahasaan seseorang.
Namun, dewasa ini sikap dan tindak tanduk tersebut telah mengalami pergeseran secara nyata. Ketidaktahuan mereka akan fungsi bahasa dan tata krama berkomunikasi serta dampak langsung dari kemajuan informasi lewat media elektronik dan cetak, menjadi salah satu penyebab. Keengganan mereka untuk berbahasa Jawa dan jauhnya mereka dari filosofi masyarakat Jawa, (karena mereka hanya mengenal bahasa Indonesia), menyebabkan mereka hanya bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dan lebih mengagumi perilaku masyarakat modern dalam pigura tayangan televisi. Ini salah satu penyebab timbulnya kebijakan baru pemerintah untuk kembali meningkatkan pemanfaatan bahasa Jawa sebagai salah satu muatan lokal dan sekaligus pembentuk pribadi masyarakat Jawa yang dikenal sebagai bangsa yang memiliki budaya adiluhung.
Pemanfaatan kembali bahasa Jawa sebagai salah satu muatan lokal dan sekaligus pembentuk pribadi masyarakat Jawa yang dikenal sebagai bangsa yang adiluhung budayanya inilah yang menarik perhatian penulis untuk mengkaji fungsi strategis Bahasa Jawa.
2. Rumusan Masalah
Oleh karena keberadaan Bahasa Jawa secara resmi sudah menjadi bagian cukup penting dalam mata pelajaran muatan lokal, maka selanjutnya perlu dipertanyakan akan mampukah Bahasa Jawa menjadi pembentuk karakter dan pembangun tata krama siswa. Pada makalah ini, diajukan rumusan masalah sebagai berikut:
a. Mampukah Bahasa Jawa menjadi pembentuk karakter siswa?
b. Mampukah Bahasa Jawa menjadi pembangun tata krama siswa?
c. Dengan unsur kebahasaan apa fungsi tersebut dapat dijalankan?

3. Tujuan
Tulisan ini bermaksud menelaah kembali fungsi strategis bahasa sebagai alat untuk mengembangkan karakter dan menanamkan tatakrama pada siswa.
4. Manfaat
Tulisan ini diharapkan memberikan sumbangsih yang berarti bagi pembelajaran bahasa Jawa di sekolah, memberikan pelajaran yang berarti bagi kalangan siswa, menumbuhkan sikap positip kalangan pendidik untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai guru dan pamong, meningkatkan intensitas komunikasi antarwarga sekolah dalam situasi nonformal.
Secara umum manfaat penggunaan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Ngadaraken raos kebangsan (menggambarkan/ menunjukkan rasa kebangsaan, “nasionalisme”). Seseorang yang mampu berbahasa Jawa dengan baik akan mencirikan anggota masyarakat yang masih cinta dan peduli terhadap kebudayaan leluhur (nenek moyang)
b. Ngalusaken budi, tindak-tanduk, solah bawa, muna-muni (memperhalus budi pekerti, tindakan, perilaku, serta ucapan). Para pengguna bahasa Jawa (krama inggil) yang aktif akan mencirikan seorang yang halus budi bahasanya, tingkah lakunya terkendali, tatakrama sesuai dengan norma sosial, dan segala ucapannya teratur, tidak semaunya sendiri)
c. Nebihaken dhumateng tumindak kasar (menjauhkan seseorang dari tindakan kasar). Seorang yang menguasai bahasa Jawa (krama) dengan baik terhindar dari tindakan yang kasar.
d. Ngaosi dhumateng piyantun sanes (menghormati/ menghargai terhadap orang lain). Pengguna bahasa Jawa (krama) bermaksud menghormati dan menghargai orang lain lebih tinggi dari dirinya sendiri. (Wirastodipura: 4)
5. Landasan Teori.
a. Penelitian yang relevan
Beberapa tulisan sebagai hasil pengamatan secara intensif tentang Bahasa Jawa memberikan gambaran tentang kondisi objektif penggunaan bahasa Jawa sebagai berikut:
1) Kawontenan basa Jawi ing bebrayan agung, mliginipun ing Surakarta bosah-basih (keadaan bahasa Jawa di dalam kehidupan berbahasa masyarakat di Surakarta acak-acakan)
2) Tiyang Jawi rumaos mboten nJaweni (orang Jawa kehilangan sikap dan perilaku masyarakat Jawa)
3) Ngginaaken basa ngoko saged njalari tumindak nracak, nilar tatasusila (berbahasa Jawa biasa/ ngoko bisa menyebabkan timbulnya sikap kurang sopan, melanggar tatakrama)
4) Pepuntoning nuwuhaken tumindak kasar (akhirnya bisa menimbulkan tindakan kasar/ kurang menghormati dan menghargai)
5) Para pambiwara medhar sabda kanthi tetembungan ingkang dakik-dakik, malah sok lajeng kathah klentuninpun (para pembawa acara yang berbicara secara berlebihan, justru sering mengalami banyak kekeliruan)
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor internal (bahasa Jawa) dan faktor eksternal (di luar Bahasa Jawa), sebagaimana uraian menurut KRMH H. Wirastodipura sebagai berikut:
1) Sampun sawatawis tahun dangunipun basa Jawi kirang dipun gatosaken (sudah beberapa waktu lamanya bahasa Jawa kurang diperhatikan penggunaan dan pengembangannya). Ini terkait dengan penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional, perhatian terhadap bahasa Jawa menjadi berkurang.
2) Basa Jawi punika rekaos (bahasa Jawa itu rumit), dalam hal:
a) Seratanipun (tata tulis dan hurufnya, penulisan dalam bahasa Jawa dan pembacaannya)
b) Klenta-klentu ngetrapaken unggah-ungguh (banyak kekeliruan dalam penerapannya), karena adanya tingkatan dalam penggunaan.
c) Basa Jawi dipun anggep kina, boten ajaman, boten “ilmiah” (bahasa Jawa dianggap kuna, ketinggalan zaman, dan tidak ilmiah). Para pengguna bahasa Jawa mulai menggunakan bahasa Indonesia dan bahkan bahasa Inggris, dengan asumsi kedua bahasa tersebut lebih modern dan ilmiah.
d) Kenging pangaribawaning “globalisasi”, basa campursari (terkena dampak globalisasi, bilingualisme/ interferensi, dan kontaminasi). Bahasa Jawa dalam penggunaannya mempertahankan keaslian dan kemurnian kosakata, meskipun hal itu terasa sulit. (Wirastodipura: 1-3)
b. Kepribadian dan Tatakrama
Mengenai kepribadian dan tatakrama di kalangan siswa, para orang tua berpendapat bahwa mereka benar-benar sudah jauh (menyimpang) dari struktur budaya Jawa yang disebut sebagai budaya yang adiluhung (sangat tinggi derajatnya). Dari penggunaan bahasa Jawa dengan penerapan yang tidak tepat, terindikasi bahwa para siswa mulai berubah dari struktur budaya Jawa kepada budaya baru, sebagai dampak budaya global. Ilustrasi berikut memberikan gambaran tentang adanya perubahan tersebut.
Penganggemipun tembung-tembung krama, krama inggil ingkang kirang trep kaliyan unggah-ungguh basa Jawi ing pasrawungan ugi asring kita prangguli. Nyumerepi kawontenan ingkang makaten punika lajeng tuwuh pangudaraosipun tiyah sepuh, ugi para paramengsastra, lan para mardawa basa ingkang sami ngopyak “Ngrungokake basa Jawane cah saiki kok keri neng kuping”. Wonten malih, ‘Basa Jawane penyiar radio saiki kok pocapane ora njawani, nggronjal ing pangrungu”. Malah wonten ingkang sami ndukani, “Basa Jawane majalahmu kok rusak to?”. Samsaya trenyuh malih dene meh sadaya tiyang sepuh wau mastani,”Bocah Jawa saiki wis padha ilang Jawane, wis padha ora weruh ing unggah-ungguh”. (Supanta: 2)

Ini menandakan adanya kekhawatiran pada masyarakat bahwa bahasa Jawa akan mengalami perubahan yang kurang menguntungkan dari segi pengembangan. Bahkan lebih jauh lagi dikhawatirkan para siswa (remaja) akan kehilangan kepribadian dan tatakrama.
c. Pengembangan Kepribadian dan Penanaman Tatakrama
Penggunaan Bahasa Jawa sebagai alat pengembangan kepribadian dan penanaman tata krama siswa mengalami masa surut terkait dengan kebijakan pemerintah dan perubahan dunia yang bersifat global. Globalisasi di berbagai bidang kehidupan memberikan dampak kurang menguntungkan terhadap penggunaan bahasa Jawa tersebut. Sebagaimana ilustrasi berikut:
Wekdal punika donya sampun kenging pangaribawa kemajengan ingkang kasebat “globalisasi”, inggih “kasejagadan”. Pramila warna-warnining budaya Jawi, seni tradisional, basa Jawi, lan adat istiadat saya kadhesek. Wonten undhang-undhang pendidikan, basa ingkang kedah dipun gatosaken lan dipun ginakaken inggih punika basa nasional inggih punika baha Indonesia, basa mancanagari inggih punika bahasa Inggris, lan basa dhaerah. Menawi ing Jawi inggih punika basa Jawi. Nanging dumugi pungkasaning tahun 2003 basa Jawi prasasat boten dipun gatosaken dening pamarentah Propinsi Jawi Tengah sanadyan sampun lumampah otonomi dhaerah. Wiwit ing kamardikan Indonesia taun 1945 ngantos 1966 budi pekerti dipun wucalaken ing sekolahan-sekolahn. Taun 1967 ngantos 1997, budi pekerti boten dipun wucalaken. Nembe jaman reformasi ngantos sapunika dipun wucalaken nanging dereng ndadosaken remen dhateng bebrayan. (Supanta: 1)

(Saat ini dunia pendidikan sudah terpengaruh oleh kemajuan yang disebut “globalisasi” atau “kesejagadan”. Sehingga semua bentuk kebudayaan Jawa, seni tradisional, bahasa Jawa, dan adat istiadat semakin terdesak. Dalam undang-undang pendidikan, bahasa yang harus diperhatikan dan digunakan adalah bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia, bahasa asing yaitu bahasa Inggris, dan bahasa daerah. Kalau di Jawa diajarkan bahasa Jawa. Tetapi sampai akhir tahun 2003 bahasa Jawa seolah-olah tidak diperhatikan oleh pemerintah Propinsi Jawa Tengah meskipun sudah berlaku otonomi daerah. Sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 sampai dengan tahun 1966 budi pekerti diajarkan di sekolah-sekolah. Tahun 1967 sampai tahun 1997, budi pekerti tidak diajarkan. Baru pada zaman reformasi sekarang diajarkan, tetapi belum memenuhi harapan masyarakat).
Ini berarti bahwa kebijakan pemerintah pada saat itu ikut andil dalam proses melemahnya perkembangan bahasa Jawa..
B. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah kajian pustaka atau study literer, dengan mendasarkan pengembangan wacana beradasarkan tulisan-tulisan yang terdahulu terkait dengan perkembangan bahasa Jawa.
C. Hasil Pengkajian dan Pembahasan
1. Hasil pengkajian
a. Pemakaian Bahasa Jawa dalam Bahasa Tutur
Penggunaan bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa sehari-hari’ “Panganggenipun basa Jawi ing Pagineman Padintenan” dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Pangucap tembung-tembung kepireng cetha menawi wonten ing gineman utawi lare nembe maos crita utawi maos waosan baha Jawi. (Pengucapan kata-kata terdengar jelas dalam perbincangan atau siswa sedang membaca cerita atau membaca wacana berbahasa Jawa). Terjadi pengucapan yang keliru dan menyebabkan pergeseran makna yang sangat nyata.
Contoh: wedi (takut), diucapkan wedhi (pasir), dandang (alat menanak nasi) diucapkan dhandhang (alat pendongkel batu, nama burung).
2) Pangucaping basa Jawi tumrap tembung-tembung basa Jawi ingkang kaserat: ingkang, malih, namung. Dalam pengucapan sehari-hari sering dijumpai pengucapan kata-kata tersebut menjadi ingkeng, melih, dan naming, yang maknanya akan mengalami pergeseran/perubahan.
3) Pamilihing tembung-tembung wau wonten ing pagineman padintenan asring kadayan saking basa Indonesia utawi basa manca (Inggris). Pemilihan kata (diksi) sering terkontaminasi oleh kosakata bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Contoh:
a) Terima kasih ya Mas, suratmu wis dakampa. Ning sorry lho, aku durung sempat membalas. Mestinya: Matur nuwun banget ya Mas, layang panjenegan wis daktampa, ning .....(Terima kasih ya Mas, suratmu sudah aku terima, tetapi ...)
b) Mas, saiki kan malam Minggu. You ora belajar ta? Yen bener-bener apikan, you pasti gelem nganter aku berkunjung nggone Tante. Mestinya: Mas, saiki rak malem Minggu. Panjenengan mesthi kersa ngeterake aku sowan daleme Bulik. (Mas ini kan malam Minggu. Mas pasti mau kan mengantar aku ke rumah Bulik)
4) Wonten ing pagineman padintenan ugi taksih asring kita prangguli panganggemipun tembung-tembung krama inggil ingkang kirang trep kaliyan unggah-ungguhing basa Jawi. Dalam penggunaan sehari-hari masih banyak kita jumpai penggunaan kata-kata (ucapan) krama inggil yang tidak sesuai dengan tingkat tutur bahasa Jawa. Contoh:
a) Mbah, Widya badhe siram. Niki arta kagungane Widya kula paringke Simbah riyin, nggih? Mestinya: Mbah, Widya badhe adus. Punika arta gadhahanipun Widya kula caosaken Simbah riyin, nggih? (Mbah, Widya mau mandi. Ini uang Widya, saya titipkan Simbah dulu ya?)
b) Budhe, menawi boten pitados kula aturi nyuwun priksa dhateng bapak kula. Mestinya: Budhe, menawi boten pitados kula aturi mundhut priksa dhumateng Bapak kula. (Budhe, kalau tidak percaya saya persilakan bertanya pada Bapak saya).
5) Wonten ing pagineman padintenan, klenta-klentuning pamilihing tembung utawi pangrakiting tembung punika kathah sanget. Dalam kehidupan berbahasa sehari-hari banyak dijumpai kekeliruan ucapan atau penyusunan kata. Contoh:
a) Sambate ngaruara nganti dirungu tanggane. Seharusnya: krungu. (Keluhan orang itu berlebihan sampai terdengar tetangganya)
b) Apamaneh yen kabeneran lagi ngakep srutu. Seharusnya: mbeneri.
(Apalagi jika kebetulan sedang menghisap cerutu)
c) Dheweke misuwur keangkuhane. Seharusnya: angkuhe. (Dia sudah terkenal kesombongannya)
b. Rendahnya Pemahaman Siswa terhadap Makna Kosakata Jawa
Rendahnya pemahaman siswa terhadap tindak tutur berbahasa sangat kurang disebabkan oleh:
1) Sikap dan tanggapan (apresiasi) siswa terhadap penggunaan bahasa Jawa berkurang (Garfin, dalam Supanta: 2)
2) Kondisi dwi bahasawan atau bahkan multi bahasawan menyebabkan berbagai kontaminasi bahasa satu terhadap lainnya
3) Para siswa bersikap meremehkan bahasa Jawa, meskipun saat ini sudah menjadi muatan lokal dalam kurikulum nasional
4) Para guru dan orang tua belum menjadi contoh bagi siswa-siswanya
5) Adanya anggapan bahwa pemakai bahasa Jawa sebagai masyarakat feodal, terlalu banyak aturan, dan menyulitkan
6) Adanya rasa silau terhadap budaya mancanegara, menyebabkan mereka meremehkan budaya sendiri
7) Ada 4 hal yang menyebabkan mundurnya bahasa Jawa:
a) Bahasa Jawa kehilangan lacak (penutur asli semakin sedikit)
b) Bahasa Indonesia semakin kuat kedudukannya karena menerima sumbangan kosakata bahasa asing
c) Bahasa Jawa hanya digunakan di desa-desa oleh kelompok masyarakat kecil
d) Penggunaan bahasa Jawa mulai kehilangan kualitas karena banyaknya kekeliruan (HB X, dalam Supanta: 2)
8) Ada dua alasan belajar bahasa Jawa:
a) Instrumental: untuk pekerjaan, mencari penghasilan (nafkah).
b) Integratif: untuk mengetahui kebudayaan yang adiluhung (Alasan ke dua umumnya dipelajari oleh sarjana mancanegara). (Lambert, dalam Supanta: 2)
2. Pembahasan
Keadaan bahasa Jawa yang demikian rumit karena banyaknya permasalahan internal maupun eksternal tidak mudah diatasi. Oleh karena itu beberapa langkah yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan ini antara lain:
a. Pemerintah dengan SK Gubernur Jawa Tengah Tahun 2005 menyatakan bahasa Jawa wajib penggunaannya dalam muatan lokal kurikulum terbaru.
b. Orang tua siswa yang kurang bisa berbahasa Jawa harus berusaha untuk mempelajari dan menjadi contoh bagi generasi muda
c. Lembaga pendidikan
1) Resmi (berkaitan dengan penelitian, kurikulum, langkah-langkah pembelajaran dan penilaian)
2) Sanggar bahasa, kursus, paguyuban ikut mengawasi penggunaan bahasa Jawa yang kurang tepat.
d. Percetakan dan penerbit/ media elektronik (koran, majalah, buku, radio, dan televisi) hendaknya ikut mengembangkan dan menyemarakkan (Wirastodipuro: 6)
D. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Setelah diuraikan sebagaimana bagian-bagian terdahulu, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
a. Kelebihan/ kehebatan penggunaan bahasa Jawa hanya tampak dalam acara-acara khusus misalnya pada perhelatan/ pahargyan, yakni oleh para pembawa acara, pemberi sambutan, kata-kata penyerahan dan penerimaan. (Dwijahadipura: 2)
b. Kondisi penggunaan bahasa Jawa pada masyarakat Jawa khususnya siswa di sekolah dan di masyarakat luas sudah acak-acakan
c. Usaha melestarikan bahasa terus dilaksanakan demi tetap asli dan utuhnya bahasa Jawa sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa
d. Pelestarian bahasa Jawa dimaksudkan juga untuk meningkatkan kepribadian, tatakrama dan rasa nasionalisme (kebangsaan)
e. Pelestarian bahasa Jawa tidak bisa hanya dilakukan oleh lembaga pendidikan formal (guru)
f. Semua pihak harus ikut mendukung pelestarian bahasa Jawa, dan penggunaannya secara tepat dalam kehidupan sehari-hari
2. Saran
Agar fungsi bahasa Jawa sesuai harapan dalam judul makalah ini, perlu dilakukan langka-langkah berikut:
a. Dalam kehidupan keluarga dibiasakan berbahasa Jawa dengan intensif
b. Perlu dibentuk kelompok belajar bahasa Jawa, termasuk untuk keperluan yang bersifat praktis (pambiwara, dhapukan upacara pahargyan)
c. Diperlukan waktu khusus untuk pembelajaran dari tingkat SD sampai dengan SMA bahkan perguruan tinggi
d. Perlu diterbitkannya majalah harian, mingguan dan bulanan berbahasa Jawa dalam kemasan modern, sehingga lebih menarik
e. Perlunya kamus bahasa Jawa yang diperbaharui untuk kepentingan pengembangan bahasa Jawa saat ini.


Daftar Pustaka

KRMH H. Wirastodipuro, 2007. Memetri Basa Jawi, Makalah dalam Seminar Memetri Bahasa dan Budaya Jawa. Surakarta: Komite Bahasa Jawa Pusat Surakarta.
Meliono-Budianto, Irmawati. 1998, Simbolisme dalam wiwahan suatu telaah filosofis
dalam tradisi Jawa, disertasi, Depok : Program Pascasarjana UI.
R T Dwijahadipura, 2007. Kaprah, Salah, Tembung-tembung Jawi ingkang dados rembag ing ngakathah, Makalah dalam Seminar Memetri Bahasa dan Budaya Jawa. Surakarta: Komite Bahasa Jawa Pusat Surakarta.
S. Padmosoekotjo, 1999. Ngengrengan Kasusastran Jawa, Yogyakarta: Hien Hoo Sing.
Supanta PW, 2007. Kawontenanipun Basa Jawi Wiwit Kala Rumiyin Ngantos Sapunika, Makalah dalam Seminar Memetri Bahasa dan Budaya Jawa. Surakarta: Komite Bahasa Jawa Pusat Surakarta.
Suyitno Yoga Pamungkas, 2006. Basa tuwin Sastra Jawi, Semarang: Permadani.

Tidak ada komentar: