Selasa, 18 Mei 2010

PENDEKATAN PRAGMATIK

(Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Program Pasca Sarjana UMS)

A. PENDAHULUAN
Pembahasan tentang PENDEKATAN PRAGMATIK DALAM KAJIAN SASTRA perlu diawali dengan mempertanyakan apakah sastra itu, apakah kajian sastra itu dan pada akhirnya sampailah pada pembahasan tentang apa pendekatan pragmatik itu.
Sastra menurut Wellek dan Warren dalam Wiyatmi (2006) adalah pertama: segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Dengan pengertian demikian segala sesuatu yang tertulis entah itu ilmu kedokteran, ilmu sosial, atau apa saja yang tertulis adalah sastra. Kedua: sastra dibatasi hanya pada “mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang dianggap menonjol karena bentuk dan ekstpresi sastranya. Dalam hal ini, kriteria yang dipakai adalah segi estetis atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Ketiga: sastra diterapkan pada seni sastra, yaitu dipandang sebagai karya imajinatif. Istilah “sastra imajinatif” (imaginative literature) memiliki kaitan dengan istilah belles letters (‘tulisan yang indah dan sopan”, berasal dari bahasa Perancis), kurang lebih menyerupai pengertian etimologis kata susastra. Definisi ketiga ini mengarahkan kita untuk memahami sastra dengan lebih dahulu melihat aspek bahasa: bahasa yang bagaimanakah yang khas sastra itu? Untuk itu diperlukan perbandingan beberapa ragam bahasa: bahasa sastra, bahasa ilmiah, dan bahasa sehari-hari.
Pada bagian lain Luxemburg dkk (1989) mengemukakan beberapa ciri sastra, pertama: sastra adalah sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Seorang sastrawan menciptakan dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Kedua: sastra merupakan luapan emosi yang spontan. Dalam sastra khususnya puisi, terungkapkan napsu-napsu kodrat yang menyala-nyala, hakikat hidup dan alam. Dalam istilah penyair Wordsworth Poetry is spontaneous overflow or powerfull feelings. Ketiga: sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain; sastra tidak bersifat komunikatif. Sastra hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri. Dalam pengertian ini, apa yang pernah diucapkan Sartre pada tahun 1948, seorang filsuf Perancis, bahwa kata-kata dalam puisi tidak merupakan “tanda-tanda”, melainkan “benda-benda” (mots-choses) menemukan relevansi pemahamannya. Keempat: otonomi sastra itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi ini pertama-tama mengacu pada keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. Setiap isi berkaitan dengan suatu bentuk atau ungkapan tertentu. Selain itu, koherensi dimaksud juga menunjuk hubungan timbal balik antara yang bagian dengan keseluruhan dan sebaliknya. Kelima: sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang bertentangan. Pertentangan-pertentangan itu aneka rupa bentuknya. Ada pertentangan, antara yang disadari dan tidak disadari, antara pria dan wanita, antara roh dan benda, dan seterusnya. Keenam: sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Sastra mampu menghadirkan aneka macam asosiasi dan konotasi yang dalam bahasa sehari-hari jarang kita temukan.
Setelah mengkaji beberapa pengertian tersebut, Luxemburg dkk. lebih suka menyebut beberapa ciri sastra, pertama: sastra adalah teks-teks yang tidak melulu disusun atau dipakai untuk suatu tujuan komunikatif yang praktis dan yang hanya berlangsung untuk sementara waktu saja. Sastra dipergunakan dalam situasi komunikasi yang diatur oleh suatu lingkungan kebudayaan tertentu. Kedua: dengan mengacu pada sastra Barat, khususnya teks drama dan cerita, teks sastra dicirikan dengan adanya unsur fiksionalitas di dalamnya. Ketiga: bahan sastra diolah secara istimewa. Ada yang menekankan ekuivalensi, ada yang menekankan penyimpangan dari tradisi bahasa atau tata bahasa. Akan tetapi, yang lebih sering adalah penekanan pada penggunaan unsur ambiguitas (suatu kata yang mengandung pengertian lebih dari satu arti). Keempat: sebuah karya sastra dapat kita baca menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda. Sejauh mana tahap-tahap arti itu dapat kita maklumi sambil membaca sebuah karya sastra tergantung pada mutu karya sastra yang bersangkutan dan kemampuan pembaca dalam bergaul dengan teks-teks sastra.
Tokoh lain, Teeuw (1988) mendefinisikan sastra berdasarkan makna kata sastra dari berbagai bahasa. Sebagai contoh: Schrifftum (Jerman) yang berarti segala seuatu yang tertulis. Sedangkan Dichtung terbatas pada tulisan yang tidak langsung berkaitan dengan kenyataan, jadi yang bersifat rekaan, dan secara implisit ataupun eksplisit dianggap mempunyai nilai estetik. Geletterd (Belanda): orang yang berperadaban dengan kemahiran khusus di bidang sastra.
Dari beberapa pengertian tersebut, secara objektif sastra dapat didefinisikan sebagai karya seni yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca. Berdasarkan teori mimetik, karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan. Berdasarkan teori ekspresif karya sastra dipandang sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan, luapan perasaan dan pikiran sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya. Sementara itu berdasarkan teori pragmatik karya sastra dipandang sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu, misalnya nilai-nilai atau ajaran kepada pembaca (Abrams, 1981).
Selanjutnya pengkajian sastra didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan mengkaji, penyelidikan (pelajaran yang mendalam), penelaahan. Dengan demikian pengkajian sastra diartikan sebagai proses atau perbuatan mengkaji, menyelidiki, dan menelaah objek material yang bernama sastra.

B. PENDEKATAN PRAGMATIK
Dalam kamus sosiologi kata pragmatik (prgmatics) diartikan sebagai telaah terhadap hubungan antara tanda-tanda dengan penggunaannya, sedangkan pragmatisme (pragmatism) diartikan sebagai suatu ajaran yang menyatakan bahwa arti suatu proposisi tergantung pada akibat-akibat praktisnya.
Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya (Pradopo, 1994).
Pendapat Horatius yang ditulis dalam bukunya Ars Poetica pada tahun 14 SM menyatakan bahwa tolok ukur sastra ialah utile ‘bermanfaat’ dan dulce ‘nikmat’. Selain itu, ia pun sekaligus mengungkapkan pendekatan sastra yang menitikberatkan pada peran pembaca (pendekatan pragmatik) dalam pendekatan teori Barat, sering dipermasalahkan urutan utile dan dulce itu, mana yang harus didahulukan, ‘bermanfaat’ dahulu baru ‘nikmat’ atau justru sebaliknya ‘nikmat’ dulu baru ‘bermanfaat’ – masalah antara pendekatan moralis (manfaat) dan estetik (nikmat), namun hal ini barangkali lebih tepat disebut perbedaan dalam tekanan (estetik baru tersendiri pada zaman romantik di dunia Barat).
Pendapat bahwa seni sebagai struktur yang dilandasi ciri khasnya sebagai sign ‘tanda’ yang baru mendapat makna lewat persepsi pembaca dipelopori oleh Jan Mukarovsky dan muridnya Felix Vodicka.
Meskipun sudah dilancarkan sejak tahun tiga puluhan, pendapat ini baru dikenal pada tahun enam puluhan di Eropa melalui terjemahan dalam bahasa Inggris (dari bahasa Rusia) dan sejak itulah perhatian atau penekanan teks sebagai struktur (strukturalisme) bergeser ke arah pembaca yang dilandasi antara lain oleh teori konkretisasi dari Vodicka. Konsep ini berasal dari Roman Ingarden yang menyatakan bahwa karya sastra mempunyai kemandirian terhadap kenyataan dan bersifat skematik-selektif, tidak pernah menciptakan gambar (dunia) yang bulat lengkap setiap membayangkan kenyataan. Dalam setiap karya sastra terdapat Unbesttimmtheitsstellen’tempat-tempat yang tidak tertentu atau kosong’, yang tidak terisi oleh karya sastra dan pengisiannya terserah kepada pembaca menurut kemampuan dan seleranya. Inilah yang disebut konkretisasi namun, menurut Ingarden, hal ini dibatasi oleh struktur karya seni yang singkat secara objektif.

Hubungan antara karya sastra dengan pembaca tampak pada skema berikut:

Karya sastra Pembaca

Dalam praktiknya, pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan moral dan atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, makin tinggi nilai karya sastra tersebut.
Di Indonesia pendekatan ini pernah dianut oleh Sutan Takdir Alisyahbana (pada masa Pujangga Baru) yang mengatakan bahwa karya sastra yang baik haruslah yang memberikan manfaat bagi masyarakat, yang kemudian dikenal dengan istilah sastra bertendens (Teeuw 1978).
Sejumlah kasus pelanggaran oleh pemerintah dan aparatnya pada masa Orde Baru terhadap karya-karya tertentu untuk dibaca dan dipentaskan di depan masyarakat umum, misalnya beberapa puisi Rendra, Emha Ainun Nadjib, dan drama-drama Riantiarno, juga menunjukkan praktik kritik pragmatik. Sebab dalam pelarangan tersebut menunjukan karya sastra dinilai dalam hubungannya dengan dampak dan pengaruhnya bagi masyarakat.
Penerapan pendekatan pragmatik misalnya memahami karya sastra dalam hubungannya dengan nilai moral, religius, dan pendidikan, seperti tampak pada judul-judul berikut. “Ajaran Moral dalam Novel Sitti Nurbaya”, “Nilai Religiositas dalam puisi-piusi Emha Ainun Nadjib” juga “Nilai Edukatif dalam Novel Salah Asuhan”. Dari judul-judul tersebut akan tampak bahwa dalam membahas dan menilai karya sastra kita kaitkan nilai-nilai pendidikan, etika, dan religius yang terdapat dalam karya sastra yang dapat berguna sebagai contoh atau teladan bagi pembaca.
Perkembangan selanjutnya dari kritik sastra pragmatik adalah kritik sastra yang menggunakan pendekatan resepsi sastra dan pada kutipan berikut diuraikan contoh penerapan pendekatan pragmatik yang dilakukan oleh Sutan Takdir Alisyahbana.

“Pada hakikatnya Armijn ialah seorang romantikus yang suka mengembara dalam jiwanya, melompat, dengan tiada memperdulikan logika dan kausalitet kejadian...sebenarnyalah yang menarik hati dalam buku Armijn ini ialah permainan peasaan pengarangnya, yang memberikan kepada buku ini suatu suasana romantika...ialah romantik gelap gulita yang berbagai-bagai belenggu yang dimana-mana hendak dikemukakan pengarangnya. Dan kalau buku Armijn Pane ini diletakkan ditengah-tengah usaha dan perjuangan sekarang ini untuk kemajuan bangsa, maka hampir dapat kita memasukkannya dalam lektur defaitistis yang melemahkan semangat, meski betapa sekalipun gembira bunyi kata pendahuluannya”.

Pada kutipan tersebut kita dapat membaca bagaimana Sutan Takdir Alisyahbana menilai Belenggu secara pragmatis. Dikatakan bahwa dari segi ceritanya novel tersebut melemahkan semangat para pembacanya.

Kata pragmatik menjadi sempit maknanya manakala dikaitkan dengan kata praktis, dan dalam permasalahan sastra, amat sulit kiranya jika segala sesuatu harus dikaitkan antara praktis dan pragmatisnya. Akan lain halnya jika kita membaca Supernova karya DEE (Dewi Lestari). Pada karya ini permasalahan seolah-olah dilihat dari sudut pandang yang sangat praktis dan bahkan pragmatis.

Setelah dianggap cukup menguasai penggunaan listrik arus bolak-balik, tibalah kami pada pelajaran yang sesungguhnya. Lebih sulit karena kali ini Ibu Sati tidak dapat mempraktikkannya. Ia hanya menunjukkan jalan. Akulah yang harus menemukan cara melangkah sendiri.
“Pagi itu, Ibu Sati mengajakku ke Taman Hutan Raya di daerah Dago Pakar sana. Dikelilingi pohon-pohon cemara besar, kami berdua berjalan santai. Ibu Sati pun memulai pidato peliknya, Dalam realitas dualitas ini, tidak ada yang absolut. Segalanya relatif tergantung pada sudut pandang sang subjek. Yang berarti juga, segalanya hadir berpasangan. Ada kiri berarti ada kanan, ada tinggi berarti ada rendah,ada positif berarti ada nega...
tif! Sambungku semangat. Kalau cuma itu semua juga tahu.
Ada Yin ada ...?
... Yang! Aku berteriak. Sampai situ juga masih tahu.
Nah, harmoni antar keduanyalah yang harus dihadirkan dalam hubungan kamu dengan alam. Menyadari kehadiran Yin Yang dalam setiap detik kamu terjaga. Menemukan dian dalam bising, dan bising dalam diam”.

Demikian contoh pendekatan pragmatik dalam kajian sastra, yang secara sederhana melukiskan penggunaan praktik berbahasa dan praktik bersastra.

C. PENUTUP
Setelah mengkaji secara teoretis, singkat, dan praktis tentang karya sastra terutama novel Supernova karya DEE, dapat disimpulkan bahwa pendekatan/aliran pragmatik menjadi salah satu bagian penting dalam perkembangan karya sastra. Pada setiap periode perkembangan aliran sastra, tampak adanya perubahan yang sangat nyata manakala penulis tidak lagi berpihak kepada pembaca dalam menciptakan karyanya.
Beberapa karya sastra absurd (kontemporer), lebih berpihak kepada sastra itu sendiri sebagai bentuk yang berdiri sendiri secara bebas (otonom). Dalam hal ini tidak bisa diidentifikasi tujuan penciptaan karya sastra, selain mengabdi kepada kepentingan seni itu sendiri.
Perkembangan terakhir dalam karya sastra modern, tampak bahwa pragmatisme lebih menonjol ketika kepentingan penciptaan sastra tidak hanya terpusat kepada pembaca, melainkan penulis, bahkan masyarakat lain dengan sudut pandang yang beragam. Ini mencirikan pendekatan pragmatik secara lebih nyata.

DAFTAR PUSTAKA

DEE, 2004. Supernova, Jakarta:Akoer
Partini Sardjono Pradotokusumo, 2005. Pengkajian Sastra, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wiyatmi, 2006. Pengantar Kajian Sastra, Yogyakarta: Pustaka.

Tidak ada komentar: