(Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Program Pasca Sarjana UMS)
A. Pendahuluan
Mempelajari filsafat perlu diawali dengan sebuah pertanyaan pembuka ”Apakah filsafat itu?”. Ada dua pendapat tentang pengertian filsafat, sebagaimana pendapat Harun Nasution yang dikutip oleh Toto Suharto dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam. Pertama: filsafat berasal dari bahasa Inggris (fil) dan bahasa Arab (safah) yang jika digabungkan menjadi fisafat. Ini yang dipertanyakan Nasution. Pertanyaan ini wajar dikemukakan karena Nasution ingin menegaskan bahwa terma filsafat itu berasal dari bahasa Arab, maka seyogyanya diucapkan falsafah atau falsafat, bukan filsafah. (Suharto, 2006 : 21-22)
Pendapat kedua: terma filsafat berasal dari bahasa Inggris, philo dan sophos. Philo berarti cinta dan sophos berarti ilmu atau hikmah. Pendapat ini kebanyakan dikemukakan oleh penulis berbahasa Inggris, seperti Louis O Kattsoff. Dari kedua pendapat ini muncul pendapat ketiga yang menggabungkan keduanya. Pendapat ini dikemukakan oleh filosof Islam Al-Farabi. Menurutnya filsafat berasal dari bahasa Yunani yang masuk dan digunakan sebagai bahasa Arab, yaitu berasal dari kata philosophia. Philo berarti cinta dan sophia berarti hikmah. (Suharto, 2006 : 22)
Setelah mengkaji beberapa pengertian tentang filsafat, secara ringkas dapat dikatakan bahwa filsafat adalah hasil akal budi manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. (Suharto, 2006 : 22)
Selanjutnya apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu? Pendapat S.R. Toulmin, dalam The Liang Gie yang dikutip oleh Prof. Dr. Herman J. Waluyo, pertama: filsafat ilmu adalah pengkajian ilmu secara filosofis, yaitu secara menyeluruh, mendasar, dan spekulatif, dan dikaitkan dengan aspek ontologi, epistimologi, dan aksiologinya. Kedua: filsafat ilmu juga dapat disebut sebagai cabang ilmu filsafat yang berusaha menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam pengkajian keilmuan, prosedur pengamatan, metode, dan nilai kegunaan dari ilmu. (Waluyo, 2002 : 1)
B. Permasalahan
Permasalahan apa yang perlu dikemukakan dalam filsafat ilmu? Sebagaimana ilmu-ilmu lain, filsafat ilmu secara ilmiah memiliki berbagai aliran dan pendekatan dalam mengkaji ilmu. Pada makalah ini penulis hanya membatasi pembahaan pada pendekatan dan aliran hermeneutika dalam filsafat ilmu.
Hermeneutik yang berarti penafsiran digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat dalam kitab suci, yang selalu relevan dengan zamannya. Kesulitan pada juru tafsir adalah ketika harus membumikan ajaran agama agar selalu relevan dengan zamannya.
Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani ”hermenia” yang berarti penafsiran. Richard E. Palmer menyebutkan perkembangan arti hermeneutik, yaitu: 1) theory of biblical exegesis; 2) philological methodology; 3) the science of all linguistic understanding; 4) the methodological fundamental of Geisteswissenschaften; 5) fenomenology of desain of existensial understanding; 6) the system of interpretation both recovery of meaning and iconoclastic used by man to reach the meaning behind myth and symbol. (Waluyo, 2002 : 49).
Kenyataan tersebut mengarahkan setiap pembelajar filsafat ilmu harus mengkaji ilmu sampai tingkat paling mendasar, tidak setengah-setengah (dangkal). Pendalaman ilmu secara radikal, harus sampai tingkat mudheng (Jawa: paham). Bilamana perlu dilakukan dengan menarik suatu perbandingan secara historis antara masa lalu dan masa kini, membaca suatu persoalan lebih bertumpu pada teks (meskipun menurut tinjauan kebahasaan masih banyak makna dibalik kata-kata, dan tidak terwakili oleh kata-kata tertulis mana pun). Untuk mempelajari sesuatu seseorang harus sampai tahapan menderita dan mencapainya dengan perjuangan yang keras.
C. Tujuan
Tujuan hermeneutika menurut Riceour adalah menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol-simbol tersebut, seperti dalam kata-kata. Hal ini karena kata-kata merupakan alat untuk mengungkapkan pikiran simbolis kita tentang dunia. (Hidayat, 2006 : 160)
Posisi penafsiran para filsuf empiris, pertama-tama terarah pada benda-benda objektif “natural” yang tidak tersentuh oleh tangan dan pikiran manusia. Bagi mereka pikiran manusia menempati tempat kedua; jika menempati tempat pertama, pikiran manusia hanya bisa memaksakan pengandaian yang menyesatkan dan prasangka yang artifisial terhadap dunia di luar dirinya. (Harland, 2006 : 98).
Dari pemikiran tersebut, mempelajari filsafat ilmu adalah meyakinkan setiap orang bahwa untuk mencapai sesuatu pemahaman (ilmu), harus dilakukan berbagai pendekatan baik secara teoretis maupun praktis. Berbagai permasalahan dalam kehidupan sering terjadi karena seseorang tidak memahami suatu ilmu secara mendalam. Jawaban atas suatu persoalan sering bersifat dangkal dan penuh keraguan, sehingga pihak-pihak yang bermasalah merasa tidak puas atas jawaban yang diberikan.
Ini relevan dengan pengertian hermeneutika menurut Zygmunt Bauman. Hermeneutika adalah upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang abstrak, belum jelas maknanya, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca. Keraguan ini ada kalanya juga muncul ketika seseorang dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling berbeda penjelasannya mengenai hal yang sama, sehingga pembaca harus bekerja melakukan kajian yang serius untuk menemukan sumber-sumber yang otentik serta pesan yang jelas. (Hidayat, 2006 : 256)
Ini menandakan bahwa banyak ketidakpercayaan publik terhadap jawaban-jawaban yang diberikan oleh pemegang otoritas atas sebuah tanggung jawab terhadap suatu masalah. (Banyak contoh kasus seperti Lapindo Brantas, Poligami AA Gym, Tenggelamnya Kapal Senopati, Jatuhnya Adam Air, Banjir di Jakarta, dan lain-lain).
D. Pembahasan
Untuk sampai pada pembahasan tentang filsafat ilmu berikut penulis suntingkan beberapa pendapat ahli tentang hermeneutika dalam filsafat ilmu.
1. Wilhelm Dilthey
Satu istilah penting yang dicetuskan oleh Dilthey adalah verstehen atau mudheng, yakni penafsiran sesuatu sampai tingkat kemengertian yang selengkap-lengkapnya. Pemahaman atas suatu masalah tidak hanya dilihat dari realitas luar saja, melainkan sampai dengan realitas dalamnya, artinya ada makna di balik sesuatu yang kasat mata. Juru tafsir harus melalui tahap explanation (penjelasan), explication (penguraian), serta interpretation (penafsiran). Mereka juga harus melalui experience (pengalaman), expression/ ausdruck (ekspresi), lived experience atau objectivication (pengalaman pribadi).
Selanjutnya disebutkan bahwa juru tafsir harus memiliki historical beeing, artinya memiliki pengalaman panjang dalam menafsirkan suatu fenomena. Semakin banyak menafsirkan sesuatu yang berkaitan dengan hidupnya, semakin tajam dan peka daya tafsirnya. Disebutkan pula tentang lingkaran hermeneutika yaitu lingkaran penafsiran yang secara terus menerus mengkaji tingkah laku manusia sebagai sebuah msiteri yang sulit dipahami, bahkan sampai akhir hayatnya.
Dilthey menafsirkan sebuah ilmu dengan mengkaji sejarah, yang digambarkan sebagai informasi dan fakta yang tidak menyebutkan angka tahun, melainkan berupa simbol-simbol. (sebagai contoh mite dan eposm, Ken Arok yang dari kepalanya muncul banyak kelelawar yang memakan buah jambu milik tetangga yang sangat diinginkannya. Sedangkan pada bagian bawah perut Ken Dedes keluar cahaya yang terang). Penafsiran tentang apakah ini, nafsu dan daya tarik kewanitaankah?
2. Martin Heidegger
Heidegger berbicara tentang das sein atau keluar dari ketersembunyian dan pemikirannya meliputi dua periode yakni periode pertama yang mengungkapkan tentang ’ada dan waktu’, sedangkan periode kedua mengungkapkan tentang ’pembalikan’.
Dalam pemikiran pertama dikatakan antara ada dan manusia sebagai suatu yang berkait erat, sedangkan pada masa pembalikan, disebutkan pemikiran ini sebagai pengujian atas pemikiran pertama ’ketidaktersembunyian’ dengan aletheia yang artinya ’a’ tidak dan ’lethe’ ketersembunyian.
Kita tidak dapat memahami subjek, dalam hal ini manusia tanpa arti yang dialami subjek. Berfikir yang sesungguhnya adalah suatu langkah kembali kepada kesatuan yang saling memuat secara timbal balik antara subjek dan arti. Sejarah pemikiran ternyata telah meninggalkannya dengan suatu akibat, berpikir manusia dan sejarah kehilangan unsur-unsurnya, dasar asal mulanya beserta tempat tinggalnya. Berpikir yang sesungguhnya adalah berdiri dalam suatu kebenaran sebagai ketidaktersembunyian. (Kaelan, 1998 : 197)
3. Friederich Schleiermacher
Bagi Schleiermacher yang menafsirkan ilmu dengan mengkaji bidang linguistik dan kesenian, penafsiran merupakan rekonstruksi historis, artinya fenomena masa lalu harus harus ditafsirkan pada masa kininya si juru tafsir. Untuk menafsirkan sesuatu diperlukan rekonstruksi historis yang menghasilkan ”fusi cakrawala” yaitu gabungan antara cakrawala pandangan teks masa lalu ditafsirkan dengan cakrawala pemikiran masa kini.
Istilah anschauung yang dikemukakan Sshelermacher mengandung arti adanya keluluhan antara fenomena masa lalu dengan intuisi dan visinya. Fenomena masa lalu tidak dilihat secara partial, melainkan bersifat menyeluruh (global : dari berbagai segi). Diperlukan tiga tahap untuk mencapai keluluhan ini, yakni: 1) tahap interpretasi dan pemahaman secara mekanis; 2) tahap ilmiah; dan tahap estetis. Tahap ketiga ini hanya dapat dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan besar yang mampu melakukan, karena harus mengembangkan imajinasi, dan mencapai tahap keluluhan antara emosi dan rasio. Kedewasaan mental atau kematangan emosional ?
4. Jurgen Habermas
Habermas menyatakan bahwa pemahaman adalah suatu kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoretis berpadu menjadi satu. Pemikiran ini yang menyebabkan hermeneutika dan bahasa mendekati ciri metodis, sehingga sangat relevan untuk diangkat menjadi metode hermeneutika bagi penelitian-penelitian kualitatif dewasa ini.
Pengalaman hermeneutik melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan, yaitu : linguistik, tindakan dan pengalaman. Tentang linguistik Habermas mengatakan bahwa ekspresi atau ungkapan dapat sama sekali dipisahkan dari konteks kehidupan konkret jika tidak berhubungan dengan bagian-bagian khusus dalam konteks tersebut. Dalam hal ini ekspresi linguistik muncul dalam bentuknya yang absolut, yaitu menggambarkan pemahaman monologis. Hal ini juga akan menimbulkan jurang pemisah antara apa yang diungkapkan dengan apa yang dimaksudkan, dan jurang pemisah baru akan ditutup bila hermenutik atau interpretasi bekerja. (Kaelan, 1998 : 223)
5. Hans Georg Gedamer
Penafsiran ilmu menurut Gedamer dilakukan dalam bentuk rekreasi, artinya juru tafsir memiliki kemerdekaan dalam menafsirkan fenomena seni dan tidak harus terikat oleh pencipta karya seni itu. Juru tafsir menafsirkan ciptaan dengan visinya, dan faktor sosiologis dan historis tidak dapat diungkapkan dalam karya seni.
Menurut Gedamer, pemahaman harus dilakukan secara dialektik melaui: 1) rekreasi (membuang prakonsepsi dan hal yang berkaitan dengan teks); 2) vorhabe (mengadakan interpretasi berdasarkan visi dan pengetahuan yang dimiliki; 3) vorsicht (menafsirkan berdasarkan apa yang dilihat); dan vorgrift (menafsirkan berdasarkan apa yang diperoleh kemudian atau kesan-kesan menyeluruh yang muncul).
Untuk melakukan penafsiran diperlukan bildung atau mengembangkan jalan pikiran; sensus communicus atau membuat pertimbangan untuk mengelompokkan hal-hal praktis yang baik; dan selera yaitu keseimbangan antara insting, pancaindera dan kebebasan intelektual.
6. Jacques Derrida
Pemikiran Derrida berkaitan dengan ungkapan dan fenomena, dan dalam pernyataannya disebutkan bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan merupakan hal yang sama, karena keduanya dalam rasionalitas yang sama.
Dalam pengertian ini pengertian Derrida tentang bahasa merangsangnya untuk membuat suatu kritik. Ia mengatakan bahwa setiap kata mempunyai arti atau makna, namun tandanya berbeda-beda. Membaca sebuah teks pada hakikatnya merupakan suatu perumusan kembali pandangan dunia dari pengarang, sedangkan membaca termasuk dalam arti tanda-tanda dalam kata-kata. Jika kritik tidak dapat menyusup masuk ke dalam arus utama dari jalan pikiran pengarang atau jikalau gagal mendalami pandangan dunia dari pengarang, maka kritik itu sebenarnya tidak ada artinya sama sekali. (Kaelan, 1998 : 251)
7. Paul Ricoeur
Pandangan dan pendapat Ricoeur merupakan jalan tengah dari Schleiermacher dan Gedamer. Penafsiran yang dilakukan berkaitan dengan kebudayaan yang mengharuskan adanya interpretasi terhadap interpretasi. Harus ada pembongkaran makna terselubung dalam kata-kata atau fenomena yang sedang dihadapi.
Riceour memperkenalkan istilah distansi kultural, yang mengharuskan juru tafsir mengambil jarak agar tidak luluh dengan fenomena yang ditafsirkan, sehingga kehilangan kesempatan untuk memahami maknanya. Juru tafsir harus menafsirkan fenomena dengan pikiran jernih dan dari luar bidang itu, sehingga sifat dan hakikat fenomena itu dapat ditafsirkan secara lebih lengkap.
Menurut Ricoeur, seorang juru tafsir tidak menafsirkan sesuatu dengan kepala kosong, melainkan dengan modal gagasan berupa bekal teoretis tentang fenomena; apa yang dilihat melalui observasi; dan apa yang merupakan konsep dalam pikirannya.
Karena kajian Riceour adalah teks maka budaya oral yang sering menimbulkan salah penafsiran dipersempit. Kesalahpahaman yang terjadi dalam bahasa tutur perlu dihindari, dan salah satu tujuan yang hendak dicapai adalah mengurangi adanya kesalahpahaman. Untuk menafsirkan teks diperlukan proses dekontekstualisasi yang artinya proses pembebasan terhadap teks, dan rekonstektualisasi yakni proses masuk kembali ke dalam teks. Penafsir harus membaca dari dalam teks, tetapi tidak luluh ke dalamnya, untuk itu diperlukan distansi kultural.
Semua teks, menurut Riceour bersifat otonom yang berdasarkan atas tiga hal yaitu: 1) maksud penulis; 2) situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks; dan 3) untuk siapa teks itu ditulis. Pemahaman terhadap teks merupakan the made of beeing (cara berada atau cara menjadi). Pemahaman adalah proyeksi dasein (pemahaman manusia seutuhnya dengan segala aspek-aspeknya) dan keterbukaan terhadap beeing (pemahaman yang tidak sepotong-potong atas keberadaan fenomena). Pemahaman atas suatu persoalan menurut Ricoeur hanya dapat diperoleh malalui kerja keras dan menderita. Pada tingkat eksistensial (suatu fenomena dalam derajat tertinggi), dan untuk memahami diri sendiri harus melalui memahami orang lain.
Selain itu penafsiran Riceour bersifat open ended yang berarti adanya kemungkinan jawaban-jawaban baru atau tafsiran-tafsiran baru terhadap suatu fenomena. Peristiwa sejarah sebagai fenomena tidak pernah berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang tersituasi. (Waluyo, 2002 : 49-55)
8. Aristoteles
Dalam khasanah filsafat klasik, kata “hermeneutika” ini juga telah digunakan. Misalnya kita jumpai dalam “Peri Hermeneias” (De Interpretatione) dari Aristoteles. Dalam “Peri Hermeneias” ini Aristoteles mengatakan bahwa kata-kata yang kita ucapkan pada dasarnya merupakan pengalaman mental kita. Sedangkan kata-kata yang kita tulis merupakan simbol dari kata-kata yang kita ucapkan. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan yang lain. Akan tetapi, pengalaman mentalnya yang disimbolkan secara langsung itu adalah sama untuk semua orang sebagaimana juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu. (Hidayat, 2006 : 166).
E. Simpulan
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa:
Filsafat adalah hasil akal budi manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya atau ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Filasafat ilmu adalah pengkajian ilmu secara filosofis, yaitu secara menyeluruh, mendasar, dan spekulatif dan dikaitkan dengan aspek ontologi, epistimologi, dan aksiologinya, dapat juga disebut sebagai cabang ilmu filsafat yang berusaha menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam pengkajian keilmuan, prosedur pengamatan, metode, dan nilai kegunaan dari ilmu.
Mempelajari filsafat ilmu bertujuan meyakinkan setiap orang bahwa untuk mencapai sesuatu pemahaman (ilmu), harus dilakukan berbagai pendekatan baik secara teoretis maupun praktis.
Pendekatan yang bisa dilakukan adalah penafsiran sesuatu sampai tingkat kemengertian yang selengkap-lengkapnya; rekonstruksi historis yang menghasilkan ”fusi cakrawala” yaitu gabungan antara cakrawala pandangan teks masa lalu ditafsirkan dengan cakrawala pemikiran masa kini; menafsirkan berdasarkan apa yang diperoleh kemudian atau kesan-kesan menyeluruh yang muncul; dan memungkinkan adanya jawaban-jawaban baru atau tafsiran-tafsiran baru terhadap suatu fenomena.
Kesalahpahaman yang terjadi dalam bahasa tutur perlu dihindari, dan salah satu tujuan yang hendak dicapai adalah mengurangi adanya kesalahpahaman. Dengan demikian berbagai permasalahan dalam kehidupan yang sering terjadi karena seseorang tidak memahami suatu ilmu secara mendalam, tidak lagi terjadi.
Daftar Pustaka
Harland, Richard.2006. Superstrukturalisme, pengantar Komprehensif kepada Semiotika, Strukturalisme, dan Postrukturalisme, Yogyakarta: Jalasutra.
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Kaelan M.S., Drs. 1998. Fisafat Bahasa, masalah dan perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma.
Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Waluyo, Herman J. Prof. Dr. 2002. Pengantar Filsafat Ilmu, Salatiga: Widya Sari Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar